Press Release: KAKAP 23 Juni 2022

Sekitar 2.300 tahun yang lalu seorang filsuf Yunani yang berasal dari Sirpus bernama Zeno memperkenalkan sebuah etika kehidupan yang mana bila diterapkan dapat membawa penganutnya menuju sebuah kebahagiaan. Zenon mengajarkan etika tersebut kepada murid-muridnya di sebuah teras yang dikelilingi tiang-tiang besar penyanggah yang mana dalam bahasa Yunani tempat itu disebut sebagai Stoa yang berarti Teras, sehingga dikenalah ajaran etika Zeno tersebut sebagai Filosofi Stoikisme atau Filosofi Teras dan terus berkembang sampai dianut oleh berbagai kalangan seperti kaisar Roma bernama Marcus Aurelius, yang dikenal sebagai salah satu dari Lima Kaisar Yang Baik [The Five Good Emperors) dan bahkan budak seperti Epictetus dari Yunani.

Henry Manampiring dalam Filosofi Stoikisme tidak terlalu memusatkan perhatian pada pencapaian kebahagiaan tetapi lebih kepada menghilangkan sifat-sifat atau negatif pada diri manusia, seperti; mudah marah, mudah stres, over thinking dll. Sehingga bila sifat-sifat tersebut hilang maka manusia baru bisa mencapai yang namanya kebahagian.

Dalam praktiknya Filosofi Stoikisme membimbing kita untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi atas suatu perbuatan yang kita lakukan sehingga mental kita akan lebih siap menerima hasil yang buruk tersebut. Maka untuk itu Filosofi Stoikisme mengajak kita untuk membagi kejadian di alam ini menjadi dua kategori yaitu Internal dan Eksternal.

Internal seperti; membuat keputusan, keinginan, tindakan, opini dan segala sesuatu yang dapat kita kendalikan. Sedang eksternal adalah segala sesuatu diluar kendali kita yaitu bentuk fisik, jodoh, gaji bulanan, penghargaan orang, kondisi alam dan lalu lintas dll.

Pencapai kebahagiaan yang ada dalam Stoikisme dapat dilihat sangat berbeda dengan konsep Hedonisme yang mana dalam Hedonisme kebahagiaan hanya dapat tercapai bila mereka telah menggapai segala yang diinginkan oleh hati mereka dan menghindari segala hal yang dapat menyakitkan hati.

Sedangkan dalam Stoikisme mengajak kita untuk lebih sederhana berupa pencapaian kebahagiaan dengan cara menghilangkan sifat negatif dalam diri seperti iri hati, mudah marah, tidak sabaran sombong dll dan menerima faktor-faktor eksternal yang tidak dapat kita kendalikan seperti kemacetan lalu lintas, bentuk fisik, suku, warna kulit, pendapat orang terhadap kita dll. Dengan melakukan dua hal ini maka ketenangan dalam kehidupan lah yang akan memberikan kebahagiaan.

Dalam Islam konsep untuk tidak ambil pusing atas apa yang diluar kendali kita disebut Tawakal seperti menerima kematian –Faktor Eksternal jika dalam Stoikisme kapan dan dimanapun sebagaimana Abdullah bin Rawahah yang menerima keadaan kematiannya diperang Mu’tah atau seperti Ukasyah bin Mihsan yang secara sigap memanfaatkan kesempatan agar bisa masuk dalam 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab yang dalam Filosofi Stoikisme disebut memanfaatkan faktor internal.

Ada juga seorang sahabat bernama Julaybib yang menerima keadaan fisik dikarena faktor eksternal (diluar kendalinya) atau bisa disebut juga Qanaáh, tapi tetap gigih dalam membela agama Islam dengan segala yang ia miliki sampai mengalahkan tujuh orang musuh, karena itu merukapan faktor internal.

Dari pemaparan diatas ada sebuah persamaan pratik antara Islam dan Stoikisme hanya saja perlu dipahami secara mendasar Islam dan Stoikisme itu berbeda. Islam menyandarkan Kebahagiaan kepada Keimanan yang notabennya membawa nama Rabb. Sedangkan Stoikisme hanya mencari ketenangan jiwa tanpa membawa nama ketuhanan.

Perbedaan yang paling mencolok antara Islam dan Stoikime juga terletak pada pendapat tentang faktor yang mempengaruhi hidup. Dalam Stoikisme ada dua faktor yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal sedangkan dalam Islam ada tiga Faktor yaitu Faktor Internal, Faktor Eksternal dan Faktor Pengendali dua Faktor Tersebut yaitu Allah SWT.

Muslim tidak seharusnya menjadikan perkataan orang lain sebagai acuan hidupnya tetapi bila itu bisa lebih mendekatkan diri kepada Rabb maka tidak masalah untuk diterima dan dicoba untuk diaplikasikan. Begitu pula denga Stoikisme walaupun terkesan mengabaikan faktor eksternal tetapi para penganutu stoikisme dibolehkan untuk menerima nasihat dari orang lain selama itu membangun karakternya menjadi lebih baik.

Dari itu semua tidak ada perbedaan yang fatal antara Stoikisme dan islam bahkan ada beberapa kosep Stoikisme yang mirip dengan Islam. Sebagai muslim perlu diperhatikan bahwa jangan berbangga diri karena kosep Islam ada yang mirip dengan filsafat Yunani tetapi sebaliknya filsafat Yunani yang harus bangga karena mirip dengan Islam dan tetap wajib bagi seorang muslim meyakini konsep Islam diatas segala-gala konsep yang ada.