Pengelolaan Zakat Produktif Perspektif Yusuf Qardhawi Dan Sahal Mahfudh

Oleh: Putri Sholihatuzzahra

Zakat merupakan ajaran Islam yang mengacu pada pemberdayaan dan ekonomi kerakyatan. Pentingnya zakat dapat dilihat dari kenyataan bahwa zakat telah diklasifikasikan ke dalam rukun Islam. Membayar zakat merupakan salah satu bentuk rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh Allah berupa amanah yang harus digunakan sesuai dengan aturan-Nya. Zakat memiliki keistimewaan dalam berbagai bidang dan dapat ditempatkan dalam banyak hal, selain sebagai poros dan pusat keuangan Islam, zakat juga sebagai pengaman sosial dan ekonomi. Dengan zakat, harta akan terbentengi dari musibah, artinya harta zakat akan tumbuh dan berkembang dengan kesuciannya. Harta zakat memainkan peran penting dalam distribusi kekayaan dan kontrol ketimpangan ekonomi masyarakat.
Dalam pengelolaan zakat, Rasulullah telah mengutus lebih 25 amil zakat ke seluruh pelosok membawa perintah pengumpulan dana zakat. Para sahabat Nabi yang dikenal pintar, amanah, transparan dan profesional dalam hal pengelolaan dana zakat antara lain sahabat terkemuka yaitu Ali bin Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Mu’ad bin Jabal. Pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan, pengelolaan zakat belum sepenuhnya dilaksanakan oleh khalifah karena bertambahnya jumlah manusia dan meluasnya kekuasaan Islam. Ustman membuat kebijakan pengelolaan zakat yang berada di luar jangkauan administrasi pemerintahan yang diserahkan kepada rakyat.


Pengelolaan zakat terus berkembang hingga masa kontemporer di mana saat ini muncul permasalahan baru yang tidak ditemui oleh para ulama terdahulu. Masalah ini memerlukan undang-undang baru agar dapat menjawab pertanyaan yang sering diajukan masyarakat dan mampu menghilangkan keraguan yang ada di benak mereka. Pada dasarnya, masalah zakat saat ini sangat kompleks dan kurang mendapat perhatian umat Islam. Di sisi lain era kontemporer ini, ilmu pengetahuan dan teknologi telah maju dan berkembang pesat. Sehingga dengan perkembangan jaman pemikiran pengelolaan zakat harus sejalan dengan perkembangan yang terjadi. Hal tersebut dimaksudkan agar tujuan zakat dapat tercapai seperti yang diharapkan.


Secara yuridis, pengelolaan zakat produktif di Indonesia sudah memiliki landasan hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pengelolaan zakat bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat serta meningkatkan kemanfaatan zakat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengentasan kemiskinan. Dalam pasal 27 disebutkan bahwa zakat dapat dimanfaatkan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. Dengan adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat, diharapkan pengelolaan zakat di Indonesia mampu menyentuh permasalahan utama yang dialami mustahik. Namun pada kenyataannya pengelolaan zakat belum berjalan sesuai dengan harapan dan masih membutuhkan tuntunan baik dari segi syari’ah maupun perkembangan zaman.


Secara teoritis, pengelolaan zakat produktif telah dibahas oleh beberapa ulama kontemporer, baik ulama nasional maupun internasional. Seperti Yusuf Qardhawi sebagai seorang cendekiawan muslim dan juga seorang cendekiawan kontemporer yang memoderasi pemikirannya tentang hukum zakat dan filsafat berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Ia memahami bahwa zakat produktif sebagai ekonomi multidimensi bagi umat Islam khususnya dapat membantu masyarakat miskin menuju kondisi kemandirian dalam mengembangkan perekonomian.
Sahal Mahfudz seorang kiai dan ulama terkemuka di Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi. Menurutnya, zakat produktif harus dikelola dengan baik dengan menjadikannya modal usaha yang dikelola secara profesional. Manajemen profesional sangat ditekankan dalam pengelolaan zakat produktif, beliau ingin zakat mampu mencegah kecemburuan dan kesenjangan sosial.


Pemikiran Yusuf Qardhawi dan Sahal Mahfudh tentang Zakat Produktif
Zakat produktif menurut Yusuf Qardhawi adalah zakat yang dikelola sebagai upaya peningkatan ekonomi masyarakat miskin dengan menitikberatkan pada pemberdayaan sumber dayanya melalui pelatihan yang mengarah pada peningkatan keterampilannya, yang pada akhirnya dana zakat tersebut menjadi modal untuk pengembangan usaha sehingga mereka memiliki penghasilan. memenuhi kebutuhannya dan mandiri dalam mengembangkan perekonomiannya. Sedangkan menurut Sahal Mahfudh, zakat produktif adalah zakat yang dikelola secara produktif dimana pemberian dana zakat dapat membuat penerima zakat (mustahik) mampu menghasilkan sesuatu yang konsisten dengan harta zakat yang diterimanya. Dana zakat yang diberikan dikembangkan untuk membuka usaha yang mampu memenuhi kebutuhan hidup dan tidak dihabiskan untuk hal-hal yang konsumtif(Khasanah, 2017).
Dari segi tujuan zakat produktif, menurut Yusuf Qardhawi, zakat produktif berupaya untuk mengatasi kemiskinan, menginginkan agar orang miskin itu sejahtera selamanya, mencari akar permasalahannya, dan mengupayakan agar orang miskin tersebut dapat memperbaiki kehidupannya. Sedangkan menurut Sahal Mahfudh, tujuan pengelolaan zakat produktif adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penerima zakat dan mendapatkan manfaat yang lebih dari dana yang diterima, sehingga nantinya mereka yang semula penerima zakat (mustahik) berubah menjadi orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki)(Fikrian. F, 2018).
Perspektif Pengelolaan Zakat Produktif Yusuf Qardhawi dan Sahal Mahfudh
Secara umum, pengelolaan zakat produktif dalam penerapannya tidak terlepas dari lembaga zakat sebagai pihak ketiga dalam pengelolaan harta zakat. Dalam hal ini pengelolaan zakat dapat dilihat sebagai berikut:
Petugas zakat
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa dalam menempatkan lembaga zakat harus dipilih sumber daya manusia yang terbaik, dalam hal ini adalah seorang muslim, dewasa dan berakal sehat, jujur, memahami hukum-hukum zakat, mampu melaksanakan tugas, laki-laki dan mandiri.
Menurut Sahal Mahfudh, pengelolaan zakat yang profesional membutuhkan tenaga-tenaga terampil, menguasai masalah-masalah yang berkaitan dengan zakat seperti masalah muzakki, nisab, haul dan mustahiq zakat.


Harta yang wajib dititipkan
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa harta yang wajib dizakati adalah ternak, emas dan perak, kekayaan perdagangan, pertanian, madu dan produksi hewan, barang tambang dan hasil laut, investasi pabrik, gedung dan lain-lain, pencarian dan profesi, serta saham dan obligasi. Menurutnya, harta yang wajib dizakati harus memenuhi syarat-syarat antara lain kepemilikan penuh, pengembangan, jatuh tempo yang cukup, lebih dari kebutuhan biasa, bebas dari utang dan lulus satu tahun (haul).
Sahal Mahfudh menyatakan barang yang wajib dizakati adalah emas, perak, deposito, hasil bumi, ternak, barang dagangan, hasil usaha, rikaz dan hasil laut. Benda-benda yang dikenai zakat haruslah hak milik. Adapun masalah nishab dan haul seperti emas dan barang dagangan, jika nishabnya mencapai 20 dinar maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen. Harta tersebut wajib dizakati jika kepemilikannya mencapai 1 tahun (haul).
Pembayar zakat (muzaki)
Menurut Yusuf Qardhawi, zakat diwajibkan atas setiap orang yang mampu dan kaya, sebagaimana wajib atas pemilik perkebunan dan buah-buahan. Sedangkan Sahal Mahfudh mengatakan, sebenarnya fikih telah mengatur kewajiban bagi orang kaya muslim untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin. Maka wajib bagi orang kaya untuk memberi nafkah kepada orang miskin. Dalam hal ini, pendataan terhadap muzakki harus dilakukan secara cermat dan teliti terhadap harta kekayaan yang dimilikinya
Penerima zakat (mustahik)
Menurut Yusuf Qardhawi, zakat sebenarnya disyariatkan untuk menegakkan kepentingan umum umat Islam dan jatah dunia untuk delapan asnaf yang Yusuf Qaradawi kelompokkan menjadi dua bagian:
Pertama, golongan yang berhak menerima zakat karena terpaksa. Jadi dia menerimanya sesuai dengan kebutuhannya, kecacatannya, dan jumlah kuantitatif dari kebutuhan itu. Mereka adalah Fuqara, Masakin, Riqab, dan Ibnu Sabil. Kedua, Orang yang berhak menerima karena adanya jasa yang dapat diperoleh dari mereka, yaitu Amil (petugas yang mengumpulkan dan menyalurkan zakat), Muallaf (orang yang baru masuk Islam), Gharim (bangkrut yang tidak dapat melunasi hutangnya) dan Sabilillah.
Dalam hal siapa yang berhak menerima zakat (mustahik), Sahal Mahfudh juga sependapat dengan Yusuf Qardhawi bahwa berdasarkan surah at- taubah ayat 60, mustahiq adalah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu. sabil. Mustahiq disebut asnaf al-tsamaniyah (delapan golongan). Menurutnya, segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umum termasuk dalam kategori sabilillah. Selain itu, amil yang berhak ikut zakat adalah amil yang diangkat oleh pemerintah.
Penyaluran zakat produktif
Hal pertama dalam langkah pendistribusian zakat adalah melakukan pendistribusian secara lokal atau mengutamakan penerima zakat yang berada di lingkungan yang paling dekat dengan lembaga zakat, dibandingkan pendistribusiannya ke daerah lain. Ini disebut “sentralistik”.
Langkah selanjutnya adalah mendistribusikan zakat secara merata yang merupakan salah satu distribusi yang baik dengan keadilan di antara semua kelompok yang ditunjuk Allah sebagai penerima zakat. Makna adil di sini adalah dengan menjaga kepentingan masing-masing penerima zakat dan juga kemaslahatan bagi dunia Islam. Selain itu, pendistribusian zakat juga harus membangun kepercayaan antara pemberi dan penerima zakat.
Menurut Yusuf Qardhawi, zakat bukan sekedar memberikan sejumlah uang atau beras yang cukup untuk menghidupi seorang mustahik dalam beberapa hari atau minggu, tetapi bagaimana seorang mustahik mampu menghidupi dirinya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya. Jika seseorang memiliki keahlian atau kemampuan tertentu, maka ia diberikan zakat sesuai dengan harga barang yang menunjang keahliannya. Misalnya seseorang yang berprofesi sebagai ahli pertanian akan diberikan zakat berupa alat-alat pertanian secara permanen. Sedangkan seorang mustahik yang belum menguasai suatu keahlian atau keterampilan diberi zakat yang mampu menunjang kehidupannya sesuai dengan kebutuhan orang seusianya dan daerah tempat tinggalnya. Kebutuhan ini tidak hanya diukur dalam setahun, dalam hal ini mustahik diberikan harga yang mampu memberikan penghasilan setiap bulannya, seperti diberikan rumah yang dapat disewakan. Sedangkan seseorang yang memiliki banyak keterampilan dan mampu memenuhi kebutuhannya, diberikan dana sesuai dengan harga alat yang dibutuhkan atau diberikan modal dasar yang paling rendah yang dibutuhkannya(Yayuli et al., 2021).
Sahal Mahfudh berpendapat supaya pelaksanaan pemungutan zakat dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, hal yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah upaya pendataan muzakki, barang-barang yang wajib dizakati dan mustahik zakat. sehingga zakat dapat dialokasikan dan bermanfaat secara efektif. Pengelolaan ini menyangkut aspek pengumpulan, penyimpanan, pendistribusian data, dan yang menyangkut kualitas manusia. Selain itu, beberapa tahapan dilakukan oleh Kiai Sahal dalam pengelolaan zakat produktif adalah:

  • Melakukan inventarisasi dan mengidentifikasi potensi kemampuan masyarakat untuk mengetahui siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Proses ini melibatkan para ahli di bidang penelitian.
  • Setelah diketahui data mana yang termasuk orang kaya (muzakki) dan orang miskin (mustahik), dibentuklah panitia yang terdiri dari para aktivis yang memiliki keahlian di bidang pembangunan ekonomi.
  • Panitia diberi tugas mengelola dana dari orang-orang kaya yang termasuk dalam kategori muzakki.
  • Panitia kemudian menyalurkan zakat dengan menggunakan model basic need approach. Fakir miskin yang berhak menerima zakat kemudian dibagi menjadi beberapa golongan dengan mempertimbangkan kekurangan yang dialaminya dan faktor yang menyebabkan mereka jatuh miskin. Kelompok-kelompok ini diberikan modal dari hasil zakat, pendidikan keterampilan, dan motivasi untuk mendorong perubahan yang signifikan dari diri mereka sendiri.
    Penerapan zakat produktif terbagi atas model basic need approach (pendekatan kebutuhan dasar). Sahal Mahfudh mengatur agar penyaluran zakat tetap dalam koridor fikih. Penerima zakat diberikan zakat berupa uang, kemudian ditarik sebagai tabungan untuk keperluan pengumpulan modal yang dikelola oleh koperasi. Dengan demikian diharapkan mereka mampu menciptakan pekerjaan dengan modal yang terkumpul dari harta zakatnya sendiri.
    KESIMPULAN
    Setelah melalui penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal tentang pemikiran Yusuf Qardhawi dan Sahal. Mahfudz dalam bidang pengelolaan zakat produktif, antara lain:
    Menurut Yusuf Qardhawi, zakat produktif adalah zakat yang dikelola sebagai upaya peningkatan ekonomi masyarakat miskin dengan menitikberatkan pada pemberdayaan sumber daya melalui pelatihan yang mengarah pada peningkatan keterampilan, yang pada akhirnya dana zakat menjadi modal untuk pengembangan usaha ummat. Sehingga mereka memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya dan mandiri dalam mengembangkan perekonomiannya. Menurutnya, tujuan zakat produktif adalah untuk mengatasi kemiskinan, menjadi makmur selamanya, menemukan akar permasalahan, dan mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Menurut Sahal Mahfudh, zakat produktif adalah zakat yang dikelola secara produktif dimana pemberian dana zakat dapat membuat penerima zakat (mustahik) mampu menghasilkan sesuatu yang konsisten dengan harta zakat yang diterimanya. Dana zakat yang diberikan dikembangkan untuk membuka usaha yang mampu memenuhi kebutuhan hidup dan tidak dihabiskan untuk hal-hal yang konsumtif. Menurutnya, tujuan zakat produktif adalah untuk meningkatkan kesejahteraan mustahiq dan mendapatkan manfaat lebih dari dana yang diterima, sehingga nantinya mereka yang sebelumnya penerima zakat berubah menjadi orang yang wajib mengeluarkan zakat.
    Persamaan, Yusuf Qardhawi dan Sahal Mahfudh berpendapat bahwa dalam hal pengelolaan zakat produktif, keduanya sepakat bahwa zakat dikelola dengan pengelolaan zakat yang profesional yakni zakat yang amanah, jujur, kredibel dan penuh dedikasi. Lebih lanjut, Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa pengelolaan zakat produktif harus memiliki lima unsur, yaitu: 1. Perluasan koridor zakat; 2. Pengelolaan zakat dari harta tetap dan tidak tetap; 3. Administrasi yang akuntabel; 4. Penyaluran yang akuntabel; 5. Produktivitas kerja melalui manajemen Islami.
    Perbedaan, Yusuf Qardhawi dan Sahal Mahfudh memiliki perbedaan latar belakang pengelolaan zakat produktif. Pemikiran Yusuf Qardhawi mengenai pengelolaan zakat produktif dilatarbelakangi oleh dua faktor, yaitu masalah ekonomi kerakyatan dan pengelolaan zakat. Sedangkan pemikiran Sahal Mahfudh tentang pengelolaan zakat produktif berangkat dari pengamatannya tentang fenomena kondisi sosial dan dakwah bil pembangunan hal atau dakwah yang memiliki parameter perubahan sikap, perilaku, mentalitas, kondisi ekonomi riil, pendidikan dan kebudayaan.

Sumber:
Fikrian, F., Muhammad., & Drs. Mu’inudinillah, B, M.A (2018). Pengelolaan Zakat Produktif Perspektif Yusuf Qardhawi dan Sahal Mahfudh. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Khasanah, M. (2017). Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Zakat Produktif (Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi dan Sahal Mahfudh). Skripsi.
Yayuli, Y., Athief, F. H. N., & Utari, D. N. (2021). Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Qardhawi Dan Sahal Mahfudh Tentang Zakat Produktif Sebagai Sarana Pemberdayaan Ekonomi. Profetika: Jurnal Studi Islam, 23(1), 98–113. https://doi.org/10.23917/profetika.v23i1.16798