14/12/2019 - KSEI Progres Tazkia

Day: December 14, 2019

  • Perkembangan Fintech Syariah

    Oleh: Ahmat Parizi (divisi RnD)

    Era teknologi merupakan sebuah era di mana kehidupan dan aktivitas masyarakat akan lebih mudah dan efektif dikarenakan peran dunia digital. Saat ini, industri yang menarik dan sedang mengalami perkembangan adalah industri teknologi keuangan atau lebih dikenal dengan fintech. Di Indonesia sendiri, perkembangan fintech sangat terlihat jelas. Pada awalnya hanya terdapat 4 perusahaan saja di tahun 2006 dan berkembang menjadi 16 perusahaan di tahun 2007. Perkembangan signifikan terjadi pada tahun 2015 hingga 2016 dimana jumlah perusahaan yang menjalankan model bisnis fintech sekitar 165 perusahaan. Dari perkembangan zaman tersebut munculah perusahaan – perusahaan yang ingin berlebelkan syariah seperti fintech syariah. Tentunya kita sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadi suatu peluang yang besar dalam prospek industri fintech syariah di Indonesia ini.

    Secara keseluruhan, Fenomena Inovasi Disruptif (Disruptive Innovation) yang terjadi di Industri Jasa Keuangan seperti munculnya fintech ini memiliki potensi besar karena dapat memberikan solusi untuk kebutuhan mendesak yang tidak dapat disediakan oleh lembaga keuangan tradisional. Fintech mengacu pada penggunaan teknologi untuk memberikan solusi keuangan (Arner et al. 2015). Sebelum membahas perkembangan fintech hingga muncul fintech syariah terlebih dahulu kita bahas pengertian dari fintech itu sendiri. Menurut definisi yang dijabarkan oleh National Digital Research Centre (NDRC), teknologi finansial adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu inovasi di bidang jasa finansial, di mana istilah tersebut berasal dari kata “financial” dan “technology”(Fintech) yang mengacu pada inovasi finansial dengan melalui teknologi modern[1]. Dalam definisi lain, (Chuen dan Teo 2015) menyatakan bahwa fintech mengacu pada layanan keuangan atau produk inovatif yang disampaikan melalui teknologi baru. Dari definisi ini, fintech syariah berarti bisnis berbasis teknologi dengan layanan keuangan inovatif atau produk yang menggunakan skema syariah. Fintech syariah mempromosikan keuangan yang bertanggung jawab, etis, dan memberikan peluang untuk memengaruhi semua bentuk keuangan secara global.

    Perkembangan Fintech Berbasis Syariah

    Evolusi fintech pertama pada tahun 1866-1987 “Pedagang dapat memesan produk melalui telepon dan melakukan perjalanan kekayaannya di seluruh dunia tanpa tenaga atau bahkan masalah” – John Maynard Keynes (1920) selanjutnya berkembang dari tahun 1987-2008 menjadi “The Automatic Teller Machine (ATM) adalah inovasi finansial yang paling penting” – Paul Volcker (2009) dan yang terakhir tahun 2008 sampai saat ini “Ratusan Startups menawarkan berbagai alternatif untuk perbankan tradisional” – Jamie Dimon (2015).

    Financial Technology sistem syariah pertama kali hadir di Dubai, Uni Emirat Arab. Pada tahun 2014 silam, Beehive berhak mendapatkan sertifikat yang pertama dengan menggunakan pendekatan peer to peer lending marketplace. Hingga saat ini, Beehive menjadi salah satu lembaga teknologi keuangan terkemuka di dunia dengan cakupan pasar yang sangat luas. Berawal dari Beehive, fintech berbasis syariah pun menjalar ke negara Asia lainnya, semisal Singapura dan Malaysia.

    Di Malaysia, Hello Gold pun muncul dengan menggunakan teknologi blockchain yang mana juga menggunakan prinsip-prinsip syariah. Secara perlahan tapi pasti, para pemain fintech ini pun juga menjalar ke Indonesia. Semua fintech berasaskan syariat Islam itu pun sama, yakni tidak mengunakan riba sehingga diklaim aman sebab bunga yang diberikan sudah sesuai dengan ketentuan Islam

    Sementara itu, di Indonesia kita tahu Platform fintech di Indonesia secara umum tumbuh dengan pesat dari tahun 2015 hingga akhir 2017 (Hasan, 2018). Dan sebagian besarnya berazaskan secara konvensional. Terlebih lagi, Humayon Dar yang merupakan Direktur Jenderal Islamic Research & Training Institute (IRTI) di Islamic Development Bank (IDB) berkata nilai industri syariah secara global masih sangat kecil jika dibandingkan dengan industri konvensional. Namun pada tahun 2018, mulailah bermunculan beberapa fintech syariah yang diharapkan akan menjadi solusi berdasarkan hukum Islam. Tercatat ada 127 perusahaan yang mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) data per 30 September 2019 yang mana terdiri dari 119 konvensional dan syariah 9. Walaupun begitu, baru ada sekitar 13 perusahaan saja yang memiliki izin di Indonesia, sedangkan sisanya tengah mengajukan surat konfirmasi tersebut kepada OJK. Kedepannya mungkin, keberadaan fintech syariah akan terus meningkat.

    Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perusahaan fintech di Indonesia terbagi kepada beberapa sektor, yaitu: 1) financial planning, 2) crowdfunding, 3) lending, 4) aggregator, 5) payment, dan 6) fintech lainnya. Menurut Muliaman D. Hadad sebagai Ketua Dewan Komisioner  OJK menerangkan bahwa perusahaan fintech di Indonesia didominasi oleh sektor pembayaran (payment) sebesar 42.22%, sektor pinjaman (lending) 17.78%, sektor aggregator sebesar 12.59%, sektor perencanaan keuangan (financial planning) sebesar 8.15%, sektor crowdfunding sebesar 8.15%, dan sektor fintech lainnya sebesar 11.11%.[2]

    Dalam perkembangan saat ini, industri teknologi keuangan atau yang dikenal dengan Fintech memiliki berbagai jenis. Setidaknya ada empat jenis industri fintech di Indonesia: Industri fintech yang relatif besar, start-up fintech, fintech sosial, dan fintech dengan tipe pasar kredit. Sebagai contoh tipe startup fintech, beberapa di antaranya adalah: Doku, iPaymu, midtrans, kartuku, dan dimo. Sementara itu, tipe fintech yang sudah relatif berukuran besar, antara lain Amartha, crowdo, investree, dan koinWorks. Tipe fintech social dapat kita temukan, seperti kitaBisa, gandengTangan, dan wujudkan. Adapun tipe industri fintech dengan pasar kredit pinjaman, yaitu bareksa, infovesta, stockbit, indoPremier, indoGold, dan olahdana.

    Meski terbilang baru fintech syariah tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan fintech konvensional. Sebab, kedua jenis tersebut sama-sama ingin memberikan layanan keuangan. Perbedaan dari keduanya hanyalah akad pembiayaan saja yang mana mengikuti aturan-aturan dari syariat islam. Ada tiga prinsip syariah yang harus dimiliki fintech ini yaitu tidak boleh maisir (bertaruh), gharar (ketidakpastian) dan riba (jumlah bunga melewati ketetapan). Walaupun menggunakan dasar syariah, rujukan dasar juga telah dibuat oleh Dewan Syariah Nasional terkait dengan keberadaan financial technology syariah ini. Dasarnya adalah MUI No.67/DSN-MUI/III/2008 yang mengatur tentang ketetapan apa saja yang harus diikuti lembaga teknologi keuangan terbaru di Indonesia tersebut.

    OJK sebagai regulator industri keuangan telah mengeluarkan legal standing untuk industri fintech. Payung hukumnya adalah dalam bentuk Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjaman Kepemilikan Peer-to-Peer Lending/P2P Lending yang diterbitkan pada akhir Desember 2016. Namun, peraturan tersebut mengatur fintech secara menyeluruh baik sistem konvensional maupun sistem syariah. Dalam layanan peminjaman yang berdasarkan syariah, apakah orang yang menunda pembayaran peminjaman akan dikenakan denda? Dalam fatwa Dewan Nasional Syariah No.17/DSN-MUI/IX/2000 sanksi atas nasabah yang menunda-nunda pembayaran pada waktu yang ditentukan dengan tujuannya agar peminjam berdisiplin akan membayar hutang. .

    Perkembangan teknologi finansial di satu sisi terbukti membawa manfaat bagi konsumen, pelaku usaha, maupun perekonomian nasional, namun di sisi lain memiliki potensi risiko yang apabila tidak dimitigasi secara baik dapat mengganggu sistem keuangan. Teknologi yang membawa transparansi, keadilan, dan akses yang meluas sesuai dengan nilai-nilai syariah. Dan pentingnya maqasith[1] syariah dalam menjalankan bisnis. Karena fintech syariah juga punya tugas untuk syiar. Setiap fintech syariah harus terhubung dengan perbankan syariah sehingga bisa meningkatkan portofolio syariah secara simultan.

    Di industri halal, fintech bisa membantu pengusaha untuk mendapatkan pembiayaan yang selama ini rumit jika tuk diberikan. Maka kesimpulannya perkembangan digital menjadi kesempatan bagi semua industri termasuk industri keuangan, khususnya industri keuangan syariah untuk merevolusi kegiatan konvensional menjadi sebuah inovasi layanan dan produk digital yang dapat memudahkan masyarakat dalam mengaksesnya. Namun jika perkembangan digital ini tidak dimanfaatkan, maka akan menjadi ancaman bagi industri keuangan secara keseluruhan karena banyak bermunculan perusahaan start-up yang mengembangkan layanan dan produk keuangan.


    [1] Dalam bahasa Indonesia adalah tujuan


    Refrensi:

    [1] Sukma, D. 2016. Fintechfest, mempopulerkan teknologi finansial di Indonesia. Arena LTE. Diakses tanggal 28 April 2018. Tersedia di  http://arenalte.com.

    [2] Sumber : Asosiasi Fintech indonesia dan OJK 2017.

    Chuen, D.L.K., & Teo, G.S. (2015). Emergence of fintech and the LASIC principles. The Journal of Financial Perspectives: Fintech, Winter 2015, 24-37.

    Hasan, S.M. (2018). Fintech in Indonesia: An Islamic outlook”, article in http://ethiscrowd.com.

    Rusydiana, Aam. 2018. “Bagaimana Mengembangkan Industri Fintech Syariah Di Indonesesia? Pendekatan Interpretive Structural Model (ISM).” Al-Muzara’ah 117-128.

  • Dorong Wakaf Produktif Menjadi Non Fiktif

    Oleh: Ade Nurul Hita Alfiani (RnD Division)

    Wakaf merupakan instrumen keuangan Islam yang sudah dikenal masyarakat secara luas sebagai bentuk ibadah yang bersifat sosial. Hal tersebut dibuktikan dengan potensi wakaf di Indonesia menurut data Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang menyebutkan bahwa saat ini terdapat 4 juta hektare (ha) tanah wakaf yang tersebar di 400 ribu titik, dengan nilai sekitar Rp 2.050 triliun. Mengingat Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dengan besaran 209,1 juta jiwa atau 13,3% dari seluruh umat muslim di dunia,[1] pemanfaatan potensi wakaf di Indonesia tentu dapat menjanjikan dampak-dampak positif bagi perekonomian secara umum.

    Namun dewasa ini, pemahaman masyarakat tentang wakaf hanya terbatas pada pola pemikiran yang mengatakan bahwa bentuk wakaf adalah tanah, bangunan dan berbagai aset-aset lain yang sifatnya statis dan sulit dikembangkan. Hal tersebut menjadi kendala yang serius karena kurangnya literasi dan pengetahuan masyarakat tentang wakaf produktif, khususnya wakaf uang yang menjadi isu hangat di periode ini. Masih banyak kalangan awam yang belum mengetahui seperti apa praktik wakaf produktif dan wakaf uang pada realitasnya. Maka dari itu perlu adanya langkah-langkah strategis dari berbagai pihak untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang wakaf menjadi masyarakat yang memiliki pemahaman lengkap terkait wakaf produktif dan wakaf uang dengan segala potensi-potensi di dalamnya.

    Terkait dengan persoalan wakaf di Indonesia, pemerintah memberikan perhatian serius dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Sedangkan pada kenyataannya, sampai saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih kurang maksimal. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang karena kurang efektifnya peran nazhir dalam mengelola harta wakaf. Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen pengelolaan wakaf menjadi urgensi yang menuntut diberikan solusi.

    Wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen modern. Adapun untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi fikih wakaf dan peraturan perundangundangan, nazhir harus profesional dalam mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang menkoordinasi dan melakukan pembinaan nazhir. Dan pada saat ini sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai badan regulator yang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan perwakafan di Indonesia.

    Kemunculan Badan Wakaf Indonesia (BWI) menjadi perwujudan dari UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran BWI sebagaimana dalam Pasal 47 adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Di sini BWI menjadi lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam pelaksanakan tugasnya terbebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat langsung[2]. BWI berkedudukan di pusat kota dan dapat membentuk perwakilan di provinsi atau kabupaten sesuai dengan kebutuhan, lembaga ini selain memiliki tugas-tugas konstitusi BWI harus menggarap wilayah tugas sebagai berikut:[3]

    1. Merumuskan kembali fikih wakaf baru di Indonesia, agar wakaf dapat dikelola lebih praktis, fleksibel dan modern tanpa menghilangkan sifat dasar wakaf sebagai instrumen keuangan yang tetap dan berjangka waktu panjang.
    2. Membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif, mensosialisasikan bolehnya wakaf benda-benda bergerak dan sertifikat tunai kepada masyarakat.
    3. Menyusun dan mengusulkan kepada pemerintah regulasi bidang wakaf kepada pemerintah.

    Selain itu, momentum pemberdayaan wakaf produktif juga didukung dengan eksistensi wakaf uang yang marak akhir-akhir ini. Saat ini dikalangan masyarakat luas mulai muncul istilah cash waqf (wakaf uang) dipelopori oleh M. A. Mannan, seorang ekonom yang berasal dari Bangladesh.[4] Secara konseptual, wakaf uang mempunyai peluang yang unik untuk menciptakan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan aktifitas sosial. Tabungan dari masyarakat yang mempunyai penghasilan menengah ke atas dapat dimanfaatkan melalui penukaran dengan Sertifikat Wakaf Uang (SWT), sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf uang dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan, di antaranya untuk pemeliharaan dan pengelolaan tanah wakaf.

    Potensi yang diciptakan dari wakaf uang bernilai sangat besar jika ditangani dengan pengelolaan yang baik. Terutama jika dana itu diserahkan kepada pengelola profesional dan diinvestasikan di sektor yang produktif sehingga dana wakaf tersebut dapat dialokasikan untuk kegiatan ekonomi produktif dalam rangka membantu kaum dhuafa dan kepentingan umat. Dengan demikian jumlah wakaf uang tidak akan berkurang, akan tetapi terus bertambah dari waktu ke waktu.

    Ditilik dari tujuan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh peran dari wakaf uang, maka keberadaan wakaf uang di Indonesia menjadi sangat krusial. Setidaknya ada beberapa hal yang mengakibatkan pentingnya pemberdayaan wakaf uang di Indonesia seperti tingginya angka kemiskinan di Indonesia yang membutuhkan perhatian serius dan solusi dengan langkah konkrit, kesenjangan antara penduduk berpendapatan tinggi dengan penduduk berpendapatan rendah serta jumlah masyarakat muslim di Indonesia yang menjadi potensi perkembangan wakaf yang menjanjikan.

    Pemberdayaan wakaf uang tentunya memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf uang, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut:

    1. Wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya sehingga dengan program wakaf uang akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf.
    2. Melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian dan berbagai sektor-sektor produktif lainnya.
    3. Dana wakaf uang bisa memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini. Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dan sebagainya.
    4. Dana wakaf uang dapat membantu perkembangan bank-bank syariah karena selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana wakaf uang adalah dana paling terjangkau yang menjadi incaran bank-bank syariah yang selanjutnya digulirkan menjadi bentuk-bentuk produk pembiayaan yang produktif.

    Dapat ditarik kesimpulan bahwa kendala literasi masyarakat tentang wakaf produktif dapat diberikan solusi dengan adanya potensi wakaf uang di Indonesia yang jika dikelola dengan tangan-tangan profesional akan merealisasikan pemberdayaan wakaf produktif ke seluruh lapisan masyarakat. Belum lagi dengan adanya dukungan digital saat ini yang nantinya akan semakin mempermudah masyarakat dalam berwakaf melalui digitalisasi wakaf tunai.

    Wallahu’alam bishawab.


    [1] PEW Research Centre. (2017). World Muslim Population by Country. Washington DC: PEW Research Centre.

    [2] Andri Soemita, “Bank & Lembaga Keuangan Syariah”, hal. 445.

    [3] Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf oleh DEPAG RI DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DIREKTORAT PEMBERDAYAAN WAKAF TAHUN 2006, hal. 105-106.

    [4] Farid Wadjdy, , 2008, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 79.