Penulis Artikel : Nadhrah Ilmina Dilsyaadi
Bogor, 3 Maret 2025 – Di tengah semangat generasi muda mengejar prestasi dan bantuan pendidikan, muncul sebuah fenomena yang menjadi perbincangan hangat: “Kabur Aja Dulu”. Fenomena ini merujuk pada kecenderungan sebagian mahasiswa penerima beasiswa yang justru meninggalkan tanggung jawab akademiknya, baik dengan mengundurkan diri, gagal memenuhi kontrak, atau bahkan menghilang setelah dana cair. Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini? Apakah beasiswa sepenuhnya menjadi “hak” si penerima, atau justru merupakan bentuk amanah yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan?
Pertanyaan ini menjadi bahasan utama dalam kajian Pojok Fikih yang digelar oleh KSEI PROGRES Universitas Tazkia, menghadirkan Rini Melda selaku Bendahara 1 periode 2024/2025. Dengan mengangkat tema “Fenomena #KaburAjaDulu: Hak Beasiswa atau Lari dari Amanah?”. Kajian ini dibawakan oleh Rini Melda (Bendahara KSEI Progres) yang menyuguhkan sudut pandang fikih yang mendalam terhadap beasiswa, serta pentingnya moralitas dalam menyikapi bantuan pendidikan.
Beasiswa: Antara Hibah dan Amanah
Dalam tinjauan fikih, terdapat dua pendekatan utama dalam memahami beasiswa: sebagai hibah (pemberian) atau sebagai amanah (titipan).
- Beasiswa sebagai Hibah
Jika beasiswa diberikan tanpa syarat atau kontrak—misalnya hanya karena usia, prestasi akademik, atau kriteria administratif lainnya—maka secara hukum fiqih, beasiswa ini tergolong hibah. Artinya, penerima tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikannya ataupun memenuhi kontrak tertentu. Namun, Islam tetap menganjurkan agar setiap bentuk pemberian dimanfaatkan secara optimal sebagai bentuk syukur. Amanah moral tetap melekat.
- Beasiswa sebagai Amanah
Namun berbeda halnya jika beasiswa diberikan berdasarkan kontrak yang mengikat. Dalam hal ini, statusnya berubah menjadi amanah. Mahasiswa penerima berkewajiban:
- Menjaga IPK sesuai standar.
- Menyelesaikan studi dalam jangka waktu tertentu.
- Mengabdi pada lembaga pemberi beasiswa setelah lulus.
Dalam konteks ini, setiap pelanggaran bukan hanya berdampak pada reputasi atau konsekuensi administratif, tetapi juga mengandung dimensi dosa, sebab amanah dalam Islam merupakan urusan antara manusia dengan Allah.
Landasan Syariah: Jangan Main-main dengan Janji!
Al-Qur’an dan hadis memberikan peringatan tegas mengenai amanah dan janji:
- QS. An-Nisa: 58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…”
- QS. Al-Isra: 34 yang artinya, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban.”
- HR. Bukhari dan Muslim yang artinya “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.”
Ketiganya menjadi pengingat keras bahwa ‘kabur’ setelah menerima beasiswa bukan hanya kelalaian etis, melainkan bisa tergolong khianat yang serius menurut syariat.
Refleksi: Niat, Nalar, dan Nasionalisme
Diskusi menarik pun muncul dalam sesi tanya jawab. Salah satunya datang dari Thifal, yang mengangkat kasus LPDP sebagai contoh nyata beasiswa berbasis kontrak. Dalam beasiswa ini, penerima wajib kembali dan mengabdi di Indonesia selama minimal dua kali masa studi ditambah satu tahun. Meskipun banyak yang tergoda untuk tetap berkarier di luar negeri, semangat nasionalisme tetap harus dijaga.
Hal serupa disampaikan oleh Dina, yang mempertanyakan apakah “kabur” setelah lulus sama dengan mengkhianati amanah. Jawaban dari pemateri cukup menenangkan: selama alumni tetap memberikan kontribusi nyata untuk Indonesia, meskipun dari luar negeri, maka nilai amanahnya tetap bisa terjaga. Namun, jika sepenuhnya melepas tanggung jawab dan hanya fokus pada kepentingan pribadi, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap amanah.
Menjaga Amanah di Balik Beasiswa
Beasiswa bukan sekadar bantuan dana pendidikan, tetapi bentuk kepercayaan—dari lembaga, masyarakat, dan Allah SWT. Maka, saat seseorang menerimanya, melekat pula tanggung jawab akademik, etika pribadi, dan kontribusi sosial. Dalam Islam, amanah adalah janji yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, fenomena “kabur” tanpa menyelesaikan kewajiban bukan hanya kelalaian, tetapi bisa menjadi pelanggaran moral dan spiritual.
Fenomena “Kabur Aja Dulu” menunjukkan tantangan integritas generasi muda dalam memaknai fasilitas pendidikan. Padahal jika dijalani dengan niat yang lurus, menjaga IPK, dan menyelesaikan studi sesuai kesepakatan, beasiswa bisa menjadi jalan keberkahan. Sebaliknya, menyalahgunakannya justru merusak kepercayaan publik dan mencederai nama pribadi.
Kajian ini mendapat sambutan positif dari peserta, khususnya mahasiswa penerima beasiswa yang mulai menyadari bahwa beasiswa bukan sekadar hak, tetapi juga amanah yang harus dijaga. Melalui kajian ini, diharapkan lahir generasi Muslim yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga peka terhadap nilai-nilai syariah dalam setiap langkahnya menuntut ilmu dan mengelola amanah pendidikan.