Penulis Artikel: Yasminnasywa Iskandar
Bogor, 17 Maret 2025 – Menjelang hari kemenangan Idul Fitri, umat Islam di seluruh dunia bersiap menunaikan salah satu kewajiban penting yang menyempurnakan ibadah puasa mereka, yaitu zakat fitrah. Zakat fitrah tidak hanya menjadi kewajiban yang bersifat individual, tetapi juga mengandung nilai sosial yang mendalam: membersihkan jiwa dan menyucikan amal puasa, sekaligus membantu mereka yang kurang mampu agar turut merasakan kebahagiaan di hari raya. Namun, dalam praktiknya, masyarakat masih kerap dihadapkan pada pertanyaan penting: apakah zakat fitrah sebaiknya dibayarkan dalam bentuk beras atau uang tunai?
Pertanyaan ini menjadi fokus utama dalam kajian Pojok Fiqih (POFI) yang dilaksanakan di Universitas Tazkia dengan tema “Menghitung Zakat Fitrah: Uang vs Beras.” Kajian ini dibawakan oleh Siti Asari selaku Bendahara KSEI PROGRES, yang secara mendalam mengulas mengenai keutamaan diantara beras dan uang pada zakat fitrah. Dengan pendekatan ilmiah dan berbasis dalil, kajian ini memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada peserta tentang esensi zakat fitrah dan bentuk distribusinya yang paling tepat dalam konteks masyarakat saat ini.
Zakat Fitrah: Tujuan dan Makna
Zakat fitrah merupakan zakat diri yang diwajibkan bagi setiap individu muslim yang mampu, yang belum baligh juga diwajibkan untuk membayar dengan diwakilkan oleh walinya. Kewajiban ini berlaku setiap bulan Ramadan dan ditunaikan menjelang hari raya Idul Fitri sebagai bentuk penyucian diri bagi orang yang berpuasa. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Daud, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah, sebagai pembersih bagi orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia, dan ucapan tidak baik, dan sebagai makanan bagi orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat hari raya maka zakatnya diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat hari raya maka termasuk sedekah biasa.”
Lebih dari sekadar kewajiban, zakat fitrah juga berdampak terhadap sosial. Zakat ini dapat menjadi sarana pemerataan di hari raya dan memastikan bahwa tidak ada Muslim yang merasa kekurangan saat Idul Fitri. Zakat ini juga menjadi penutup ibadah Ramadan agar diterima Allah subhanahu wa ta’ala dengan sempurna, sebagaimana dijelaskan dalam hadits: “Puasa Ramadhan akan tergantung antara langit dan bumi, tidak akan diangkat ke sisi Allah kecuali dengan zakat fitrah.” (HR. Ath-Thabrani).
Syarat, Rukun, dan Waktu Pembayaran
Dalam pemaparannya, Siti Asari juga menegaskan bahwa zakat fitrah hanya diwajibkan bagi Muslim yang memiliki kelebihan harta dari kebutuhan pokok pada malam dan hari raya Idul Fitri. Syarat lainnya mencakup beragama Islam dan sempat hidup antara bulan Ramadan dan Syawal walau sesaat. Adapun rukunnya meliputi niat, muzakki (pemberi zakat), mustahik (penerima zakat), serta adanya harta yang dizakatkan.
Waktu terbaik untuk menunaikan zakat fitrah adalah sebelum shalat Idul Fitri, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari. Jika ditunaikan setelahnya, maka hukumnya menjadi sedekah biasa dan tidak menggugurkan kewajiban zakat fitrah.
Uang atau Beras? Perbedaan Pendapat Mazhab
Poin menarik dalam kajian ini adalah diskusi mengenai bentuk zakat fitrah yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki menyepakati bahwa zakat fitrah sebaiknya dibayarkan dalam bentuk makanan pokok, yakni beras di Indonesia, mengikuti praktik Nabi dan para sahabat. Keunggulannya terletak pada kejelasan dalil, kesesuaian dengan sunnah, serta terjaminnya kebutuhan pangan bagi mustahik.
Namun, dalam konteks kemaslahatan, mazhab Hanafi dan sebagian ulama kontemporer membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang. Pendekatan ini dinilai lebih fleksibel dan praktis, mengingat kebutuhan mustahik bisa berbeda-beda. Beberapa dari mereka mungkin lebih memerlukan uang tunai untuk biaya transportasi, pendidikan, atau keperluan mendesak lainnya.
KH. Zaini Mun’im menambahkan bahwa jika seseorang memilih untuk membayar dengan uang, maka besarannya harus mengacu pada nilai 3,8 kg beras, mengikuti standar mazhab Hanafi. Pembayaran zakat fitrah dengan uang senilai 2,5 kg beras dinilai tidak sah secara fikih oleh sebagian ulama karena tidak sesuai ukuran yang ditetapkan dalam mazhab tersebut.
Ukuran dan Ketentuan Jumlah Zakat
Terkait ukuran, satu sha’ sebagai ukuran standar zakat fitrah memiliki variasi tergantung mazhab. Mazhab Maliki menyebutkan 2,7 kg, Syafi’i 2,75 kg, Hambali 2,2 kg, dan Hanafi menetapkan 3,8 kg. Ulama Indonesia mengambil jalan tengah dengan menetapkan 2,5 kg sebagai ukuran standar nasional. Perbedaan ini menjadi bukti bahwa fikih adalah ilmu yang luwes dan mampu menyesuaikan dengan konteks masyarakat.
Kesimpulan dan Refleksi
Mengakhiri kajian, Siti Asari mengajak peserta untuk tidak hanya memahami zakat fitrah sebagai kewajiban tahunan, namun juga sebagai sarana menumbuhkan empati dan kepedulian sosial. Baik dengan beras maupun uang, esensi dari zakat fitrah adalah memastikan bahwa semua umat Islam bisa merasakan kebahagiaan Idul Fitri secara layak. Pilihan bentuk zakat perlu mempertimbangkan kondisi mustahik, kemudahan distribusi, serta keabsahan fiqih yang berlaku.
Kajian ini menjadi pengingat bahwa setiap ibadah dalam Islam, termasuk zakat fitrah, tidak semata ritual, namun juga memiliki nilai sosial dan spiritual yang mendalam. Melalui forum seperti POFI, mahasiswa diajak untuk terus memperdalam pemahaman agama dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.