Penulis Artikel : Ahmad Syamil Muzzakkir
Bogor, 5 Mei 2025, baru baru ini di Indonesia tepatnya di provinsi Jawa Barat, terdapat sebuah kebijakan yang ramai menjadi perbincangan hangat yaitu sebuah program yang diusungkan oleh Gubernur provinsi Jawa Barat bapak Dedi Mulyadi atau kerap kali disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM), yang mana beliau mengusulkan agar para pria yang menjadi kepala rumah tangga dan ingin menerima bantuan sosial (BANSOS) harus terlebih dahulu mengikuti program Keluarga Berencana (KB), termasuk vasektomi. Menurut data di bulan september 2024 menunjukkan bahwa jumlah total penduduk miskin di Jawa Barat sebanyak 3,67 juta orang atau 7,08% dari total penduduk jawa barat. Vasektomi sendiri merupakan sebuah prosedur kontrasepsi (pengendalian kelahiran) permanen pada pria yang dilakukan dengan cara memutus penyaluan sperma ke air mani. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh bebeapa hal yaitu untuk menghentikan rantai kemiskinan, menekankan peran laki laki dalam program KB, dan efisiensi dan ketepatan sasaran Bansos. Lantas, bagaimana islam memandang fenomena ini? Apakah memutuskan jalannya lahirnya keturunan sebagai syarat mendapat bantuan merupakan sebuah jalan untuk “mengatasi” permasalahan, atau malah merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia?
Pertanyaan ini menjadi fokus utama dalam kajian pojok fikih (POFI) yang dilaksanakan di Universitas Tazkia dengan tema “Vasektomi untuk mendapat bansos: Maslahah atau pelanggaran hak asasi?”. Kajian ini dibawakan oleh Faizatul Maghfirah selaku ketua divisi Research and Development (RnD) KSEI PROGRES periode 2024/2025 yang mengulas kebijakan ini secara mendalam dalam sudut pandang fiqih dan apakah penerapannya merupakan sebuah solusi yang efektif untuk diimplementasikan.
Perencanaan Keluarga: Upaya strategik rumah tangga
Perencanaan keluarga merupakan upaya sistematis untuk membantu pasangan suami istri dalam menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak agar menyesuaikan dengan kondisi kesahatan, ekonomi, dan sosial dari rumah tangga agar dapat memitigasi permasalahan permasalahan yang akan timbul jika kelahiran anak di suatu rumah tangga tidak terencana sama sekali. Tujuan utama dari perencanaan keluarga bukanlah membatasi keturunan, melainkan mengatur kelahiran agar setiap anak yang lahir mendapatkan “hak” atas pengasuhan, pendidikan dan juga kehidupan yang layak.
Perencanaan keluarga dalam islam
Di dalam agama islam, konsep perencanaan keluarga (tandzhim an nasl) tidak sepenuhnya dilarang, bahkan di dalam beberapa pembahasan literatur klasik menyebutkan bahwa praktik ‘azl atau coitus interruptus (senggama terputus) diperbolehkan. Menurut imam Al Ghazali dan imam Al Nawawi menyebutkan bahwa ‘azl tidak bertentangan dengan prinsip islam selama hal itu terjadi atas kesepakatan yang terjadi diantara suami dan istri.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa mengenai hal ini, disebutkan bahwa metode KB yang bersifat “sementara” dan dapat “dikembalikan” ke kondisi semula (reversibel) diperbolehkan untuk dilakukan. Namun, untuk metode yang bersifat permanen seperti vasektomi dan tubektomi, larangan tetap diberlakukan kecuali atas dasar kebutuhan medis yang sangat mendesak dan atas rekomendasi tenaga kesehatan profesional.
Maka dari itu, islam memperbolehkan untuk melakukan pengaturan kelahiran selama mematuhi syarat syarat tertentu yaitu: tidak merusak fungsi reproduksi baik itu laki laki maupun perempuan, bersifat sementara, tidak dilakukan dengan tujuan menolak untuk mendapatkan keturunan selamanya, dan dilakukan dengan persetujuan antar pasangan. Juga yang harus menjadi perhatian adalah tidak memiliki unsur pemaksaan atau keterpaksaan dalam menjalankannya, terlebih lagi bila dikaitkan sebagai “syarat” untuk mendapatkan bantuan sosial.
Meskipun tujuannya adalah untuk memutus rantai kemiskinan dapat diangaap sebagai bentuk maslahat. Namun, metode yang digunakan serta implikasi yang akan terjadi jika kebijakan ini dilakukan mengandung problematika etika serta hukum. Paksaan terhadap individu untuk melakukan sterilisasi permanen demi mendapatkan bantuan hak dasar seperti bantuan pangan sangat jelas bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan juga hak reproduksi. Terlebih lagi, di dalam maqashid syariah — lima tujuan utama syariat islam — yaitu menjaga keturunan (hifzh an-nasl) yang juga merupakan salah satu prioritas utama.
Alternatif solusi hukum dan kebijakan
Alih-alih menggunakan pendekatan yang bersifat koersif, ada berbagai alternatif solusi yang lebih sejalan dengan nilai-nilai Islam dan prinsip keadilan sosial yaitu:
- Fokus pada edukasi dan kesadaran, bukan insentif atau paksaan — Penyuluhan yang merata dan berbasis hak kepada masyarakat tentang manfaat perencanaan keluarga.
- Peningkatan layanan KB berbasis hak — Akses terhadap berbagai pilihan metode KB yang aman, terjangkau, dan tidak bersifat memaksa serta dijamin oleh negara.
- Reformulasi pendekatan program dengan perspektif keadilan sosial — Bantuan sosial seharusnya dirancang untuk memperkuat daya hidup masyarakat, bukan sebagai alat kendali terhadap tubuh dan pilihan hidup mereka
Kesimpulan
Perencanaan keluarga bukanlah hal yang tabu di dalam ajaran agama islam. Selama masih memenuhi prinsip prinsip dasar seperti persetujuan pasangan, bersifat sementara, dan tidak merusak fungsi biologis manusia, maka itu masih diperbolehkan. Tetapi, jika dilakukan atas dasar memenuhi persyaratan untuk mendapatkan bantuan sosial dan dengan melakukan sterilisasi permanen tanpa adanya indikasi medis, maka hal itu telah bertengan dengan prinsip maqashid syariah dan juga keadilan sosial. Kebijakan publik seharusnya berdiri diatas prinsip keadilan, kebebasan, dan penghormatan terhadap martabat manusia sehingga terciptlah keadilan sosial yang merata. Pojok fiqih ini mendapatkan respon yang sangat positif oleh para peserta, dikarenakan topik yang dibahas merupakam sebuah kebijakan pemerintah yang tentunya berdampak langsung terhadap masyarakat. Melalui kajian ini, para peserta diharapkan untuk memahami program kepemerintahan yang ada secara spesifik dan mendalam baik itu dari segi kelebihan maupun kekurangannya serta dapat memposisikan diri terhadap kebijakan yang ada.