Sumber daya di Indonesia ini tidak bisa dipungkiri, betapa banyak dan indahnya hingga lagu Koes Plus yang populer di zamannya ini mendeskripsikan alam dengan sejuta pesonanya, barisan bukit dan pegunungan yang menghijau, samudera luas, sawah-sawah yang terbentang luas bak lukisan Tuhan di atas bumi.
Bukan lautan hanya kolam susu……
Kail dan jalan cukup menghidupimu….
Tiada badai tiada topan kau temui….
Ikan dan udang menghampiri dirimu …
Orang bilang tanah kita tanah surga….
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman…
Sumber daya alam Indonesia berupa emas, perak, nikel, tembaga, dan hasil tambang lain tersebar hampir di seluruh penjuru negeri. Negeri itu bernama Indonesia, negeri yang memiliki wilayah laut terluas (5,8 juta km2), pulau terbanyak (17,508) hingga dari ujung ke ujung sama dengan dari Dublin ke Moscow. Ia juga memiliki cadangan minyak mulai dari ujung Sumatera, Jawa Timur, Jawa Barat, Natuna, Kalimantan Timur, Maluku hingga ke Irian Jaya (www.fig.net, 23 april 2008). Dari sabang sampai merauke, sumber daya alam indonesia bertebaran sepanjang pesisir laut. Semua potensi alam ini membuat indonesia bisa bertahan hidup bahkan tanpa bantuan negara lain.
Sayangnya, negeri ini juga dikenal dengan negeri 1001 kasus, banyak masyarakat jauh berada di bawah garis kemiskinan, angkatan kerja masih banyak menganggur, disusul inflasi harga-harga yang melambung tinggi. Selebihnya yang masih gratis dan tak terkena dampak inflasi di dunia ini hanyalah bermimpi dan berkhayal Akibatnya, segudang berita kriminal menghiasi layar televisi dan media cetak. Baru-baru ini kasus lawas bersemi kembali (KLBK) dikalangan masyarakat, lagi-lagi kelangkaan minyak bumi. Ironis memang, bagaimana mungkin negeri lautan minyak, turut merasakan dampak kelangkaan minyak dunia?.Bagaikan anak ayam yang mati di dalam lumbung beras, kita adalah si empunya minyak tapi kita juga tuan yang tidak berdaya yang disandera di tanahnya sendiri.
Apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini? Ada apa dengan Indonesia? Apakah karena kita terlalu yakin dengan teori kelangkaan ala Lionel Robbins yang menggambarkan keserakahan manusia untuk memperoleh kepuasan material sebanyak-banyaknya dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang sangat terbatas, sehingga akhirnya Tuhan memakbulkan doa berdasarkan keyakinan tersebut? ataukah kejadian ini ada sangkut pautnya dengan sumber daya manusia sebagai pengelola sumber daya alam itu sendiri? atau karena minyak di negeri kita telah habis dijual ke negeri asing antah barantah, sehingga yang tersisa hanyalah lumpur Lapindo?. Akankah kita terus dengan kondisi seperti ini sampai kita renta, lalu mewariskannya kepada anak cucu? Begitu banyak pertanyaan yang menjadi PR bagi kita bersama. Semakin lama semakin membingungkan seperti berada di dalam labirin yang panjang dan tak berujung.

Beberapa tokoh mencoba memberikan pandangan mereka dalam masalah ini. Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro menegaskan kemungkinan ada dua hal yang menyebabkan kelangkaan minyak tanah. “Pertama adalah meski konversi minyak tanah sudah disosialisasikan, namun masyarakat kembali memakai minyak tanah. Kedua, minyak tanah kembali digunakan bukan hanya untuk keperluan rumah tangga tetapi juga untuk keperluan lain di luar kepentingan rumah tangga. (Republika, 25 Agustus 2007). Sumber lain mengatakan bahwa penyebab kelangkaan minyak adalah karena faktor tekhnis ketika supply BBM bersubsidi berkurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan lokal dan nasional. Meningkatnya harga minyak dunia sebesar 40% hanya dalam waktu empat bulan, menyebabkan kemampuan finansial Pertamina mengimpor minyak mentah dan BBM menjadi sangat terbatas. Akibatnya Pertamina tidak dapat memenuhi kebutuhan kilang minyaknya yang berdampak pada berkurangnya pasokan BBM.
Selain itu, faktor spekulatif dengan adanya BBM bersubsidi dan non-subsidi untuk industri berdampak pada disparitas harga. Ketika harga minyak bersubsidi lebih rendah dari pada harga minyak non-subsidi, sehingga pasokan minyak untuk masyarakat diselewengkan ke industri, akibatnya terjadilah black market atau pasar gelap. (Hidayatullah Muttaqin, www.jurnal-ekonomi.org)
Dari pendapat-pendapat di atas, jika kita menarik benang merah maka kita akan menemukan bahwa penyebab kelangkaan minyak di Indonesia, bahkan dunia, bukan karena sumber daya alam yang terbatas tapi ulah tangan-tangan jahil manusia. Demi menarik investor asing misalnya, pemerintah menaikkan harga dan mengurangi subsidi minyak. Bahkan sejak masa orde baru, hampir 90% sektor migas dikuasai pihak asing. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara- negara anggota OPEC dan non OPEC, pemerintah mereka juga memberi keleluasaan pada investor asing untuk mengelola ladang-ladang migas. Negara-negara penghasil minyak (OPEC) yang memiliki 2/3 cadangan minyak dunia dan mengekspor 40 % minyak mentah dari ekspor dunia, tetapi mereka hanya memiliki 10% sarana pengolahan minyak. Sedangkan negara-negara maju menguasai 60% industri pengolahan minyak dunia yang mayoritas dimiliki beberapa perusahaan saja seperti Chevron, ExxonMobil, ConocoPhilips, Sheel, Texaco, BP, UNOCAL, dan Hallilburton. (Hidayatullah Muttaqin). Minyak-minyak tersebut diboyong ke negara-negara maju, perusahaan-perusahan multinasional dari Amerika, Inggris, Belanda, dan negara-negara maju lainnya. Akibatnya negara-negara berkembang penghasil minyak hanya bisa gigit jari.
Perspektif Islam dan barat (sekuler) dalam hal eksistensi alam ini sangatlah berbeda. Mereka menempatkan Tuhan di satu sisi yang sama sekali tidak tersentuh dengan alam semesta. Paham anthropesentris yang menyebabkan pembelaan terhadap hak-hak individu secara berlebihan, sehingga mereka mengatakan bahwa untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas harus memanfaatkan sumber daya alam yang terbatas. Sementara dalam Islam, ketika kita masih saja mempertahankan rasionalitas kelangkaan sumber daya alam, maka sama saja dengan mengatakan bahwa betapa kikirnya Tuhan yang membatasi supply alam bagi manusia. Padahal, di satu sisi kita diperintahkan mengelola alam ini demi keberlangsungan kehidupan manusia. Teori ekonomi Islam tidak memandang manusia dan alam sedangkal itu, karena itu Islam tidak mengakui adanya kelangkaan sumber daya alam (scarcity).
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 284: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” Lalu dalam surat Al-Baqarah ayat 29, “Dialah Allah yang menjadikan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kamu semua.” Sumber daya yang habis akan melahirkan sumber daya yang baru, misalnya saja penggunaan minyak jelantah dan minyak dari buah pohon jarak telah menjadi tren alternatif. Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan lah yang menyebabkan manusia menghubungkan antara eksistensi alam dan scarcity. Pada dasarnya, sumber daya yang telah disediakan tersebut sesuai dengan apa yang memang dibutuhkan manusia, tinggal bagaimana manusia itu sendiri menggunakan potensi akal yang telah diberikan Allah untuk mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan petunjuk-Nya. Bagaimana pengelolaannya secara teknis, sehingga menjadi manfaat atau mudharat, kembali kepada subjeknya, yaitu manusia itu sendiri.
Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa hukum mewujudkan sarana untuk melakukan hal yang wajib adalah wajib. Hal ini berimplikasi pada perintah Allah kepada manusia muslim untuk terus belajar dan menggali ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, termasuk dalam mengelola alam ini. Kemudian dalam surat Huud ayat 61, Allah SWT berfirman:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do’a hamba-Nya.)” Ayat tersebut menjelaskan posisi manusia sebagai khalifah di bumi ini yang diamanahkan untuk menjadi pemakmur dalam mengolah sumber daya yang telah disediakan Allah, bukan malah menjadi penghabis atau perusak alam. Sehingga kehidupan manusia dapat mencapai falah (kebahagiaan).
Apa yang terjadi di negeri kita adalah ketidakmerataan distribusi kekayaan alam, sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin semakin melarat. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, termasuk kelangkaan minyak bumi, adalah kisah usang yang tumpuk menumpuk, saling terkait seperti mata rantai, di mana ketika kita mencoba mengurai salah satu mata rantainya maka kita juga harus mengurai mata rantai yang lainnya, demikian seterusnya. Jika diibaratkan dengan penyakit, mungkin negeri kita ini telah terkena kanker stadium akhir, yang kita butuhkan sekarang adalah perawatan intensive dengan dokter ahli yang bijaksana dan berpengalaman. Siapakah kelak yang akan menjadi dokter cinta negeri Indonesia? Wallahu ‘Alam Bis Shawab.
Author : Fitriani
Cari info tentang ekonomi syariah? Cek aja di website KSEI Progres
[Keep in touch with us].
👥: Progres Tazkia 1
🐦: @KSEI_Progres
📷: progrestazkia
🎥Youtube: Progres Tazkia