Kalau tahun lalu kita sering mendengar berita tentang penyitaan puluhan makanan dan minuman kadaluarsa berbagai merek dari dalam dan luar negeri oleh petugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Balai Besar Obat dan Makanan (BPOM), ataupun Polda Metro Jaya, maka tahun ini lain pula beritanya. Kali ini malah lebih miris lagi karena bukan hanya makanan dan minuman kadaluarsa yang masih beredar di masyarakat, bahkan makanan kadaluarsa tersebut dijadikan bahan untuk membuat produk yang kemudian didistribusikan ke masyarakat.

Semakin semaraknya berita tentang produk makanan berbahan mentah sekarang ini cukup mencemaskan. Pasalnya makanan tersebut termasuk makanan yang digemari masyarakat dan dijual di pasar-pasar sehingga otomatis banyak dikonsumsi oleh masyarakat, akibatnya juga akan sangat dahsyat karena dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat banyak. Apalagi produk-produk tersebut sudah beberapa tahun beredar di masyarakat, artinya beberapa tahun pula masyarakat mengkonsumsi makanan tersebut.
Mencengangkan memang, produk-produk tersebut termasuk produk bangsa ini, dibuat oleh anak negeri, dan dikonsumsi juga oleh masyarakat sendiri, kedengarannya seperti pemusnahan anak bangsa secara perlahan. Betapa tidak, makanan-makanan yang dikonsumsi tersebut kemudian mengendap dan akhirnya menjadi penyakit mematikan. Bukankah itu pemusnahan massa oleh bangsa sendiri? bagaimana jika makanan tersebut malah dikonsumsi oleh keluarga produsen tersebut? bahkan seekor harimaupun tidak rela memakan anaknya sendiri.
Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang aktivitas manusia dalam bermu’malah, khususnya memproduksi suatu produk sebagai salah satu bagian dari mata rantai perilaku manusia dalam rangka mempertahankan hidup?
Dalam Islam mu’amalah yang bernilai ibadah adalah mu’amalah yang didasari dengan itikad baik dan dengan jalan yang halal dalam rangka mencari keridhaan Allah. Allah berfirman dalam surat Adz-dzariyat ayat 56 yang artinya “tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.” Ibadah di sini tidak hanya ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Segala amal kebaikan yang dilakukan dan diniatkan untuk Allah juga bernilai ibadah. Bahkan membuang duri di jalanpun dapat bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah. Mu’amalah adalah salah satu aktifitas manusia dengan manusia lainnya-hamblum minan naas- yang bernilai ibadah karena dari interaksi tersebut terwujudlah berbagai kemashlahatan dan kemudahan bagi manusia sebagai makhluk sosial.
Aktivitas tersebut bukanlah sekedar untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja atau memperkaya diri dengan berbagai cara tanpa memperdulikan orang lain. Jika kita hubungkan dengan permasalahan di atas, maka memproduksi makanan, minuman atau apapun yang dapat merusak kehidupan manusia jelas diharamkan. Hal tersebut dilarang karena secara logikapun kita dapat memahami bahwa mengkonsumsi makanan-makanan tersebut dapat menghilangkan kemashlahatan dalam kehidupan manusia itu sendiri, karena itu manusia sudah pasti menghindarinya. Kemungkinan mereka tetap mengkonsumsi makanan dan minuman tersebut adalah karena ketidaktahuan, kelalaian atau ketidaksadaran akan arti pentingnya kesehatan. Nah, di sinilah produsen berperan penting sebagai salah satu stake holder yang memproduksi dan kemudian mendistribusikan produk-produknya ke masyarakat. Dari tangan-tangan kreatif produsen inilah tercipta berbagai macam hasil olahan dan aneka ragam produk (makanan,minuman dan lainnya) yang menarik minat konsumen. Kita tentu sangat mengharapkan produk-produk anak negeri ini adalah produk berkualitas yang nantinya dapat menjadi salah satu sumber makanan bergizi bagi rakyat atau bahkan menjadi sarana untuk mencerdaskan bangsa.
Islam tidak pernah melarang seseorang untuk melakukan berbagai aktifitas dalam bermuamalah. Koridor hukum bermu’amalahpun diatur dengan sangat jelas. Salah satu qaidah ushul fiqh menyebutkan bahwa Al-ashlu fil mu’amalah halal illa yadullu ‘ala tahrimihi – hukum asal dalam bermu’amalah adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Jelas yang digaris bawahi di sini adalah segala bentuk mu’amalah yang tidak bertentangan dengan hukum Allah, seperti maisir (mengandung unsur judi), gharar (spekulasi) dan riba, maka dibolehkan oleh Syari’at.
Hukum yang ditetapkan oleh Islam bukanlah hukum yang abu-abu alias tidak jelas. Segala aktifitas manusia tidak hanya dililihat dari output atau hasilnya saja, tindakan preventif dilakukan sejak awal, sehingga semenjak proses harta tersebut diperoleh ataupun proses produksi suatu barang tidak boleh mengandung unsur ketidakjelasan apalagi haram.
Teori ekonomi yang sering kita dengar bahkan mungkin sudah mendarah daging adalah bahwa kegiatan produksi dilakukan untuk mendapatkan profit semaksimal mungkin dengan meminimalkan biaya produksi. Apakah mungkin? bukankah teori tersebut akan menjadikan manusia melakukan segala cara, tanpa memperdulikan akibatnya terhadap kehidupan manusia lain? Dan akhirnya para produsen berlomba-lomba memaksimalkan keuntungan sehingga berbagai macam produk beredar di pasaran, tidak peduli dapat merusak generasi atau tidak. Teori ekonomi yang mengatakan bahwa suatu perusahaan dapat memperoleh keuntungan jika didukung dengan faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, sumber daya alam ataupun teknologi, memang benar. Namun hal tersebut akan menjadi gersang tanpa nilai jika yang menjadi acuan hanya bagaimana cara untuk memaksimalkan laba tanpa memperhatikan aspek-aspek lain, seperti spiritualitas, dalam berbagai kegiatan ekonomi. Akibatnya dari segi materi mungkin akan maksimal tetapi secara ruhiyah akan menimbulkan dampak negatif seperti krisis akhlak, krisis kemanusiaan, tingkat stress bertambah dan lain-lain.
Di sisi lain praktik yang terjadi sekarang adalah di mana teori kepuasan konsumen (bukan kecukupan kebutuhan) adalah segala-galanya bahkan ada ungkapan lain yang mengatakan bahwa konsumen adalah raja sehingga setiap permintaan konsumen akan direspon oleh produsen tanpa memperhatikan batas kehalalan atau keharamannya. Islam sangat menghargai keinginan konsumen dalam memenuhi kebutuhannya tapi hal itu tidak menjadi alasan untuk memproduksi segala produk berdasarkan kepuasan konsumen saja. Batasan untuk memproduksi tetaplah berdasarkan syariat, ketika ada permintaan konsumen terhadap suatu produk maka produsen tidak akan langsung meresponnya tanpa memfilter terlebih dahulu apakah produk tersebut akan menjadi mashlahat ataukah mudharat. Misalnya ketika permintaan terhadap khamr sangat besar sehingga laba yang diperoleh juga sangat menggiurkan, maka dalam Islam produk tersebut tidak boleh diproduksi karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi si pelaku maupun orang lain. (menggagas konsep produk Islam, http://islamiceconomics.wordpress.com)
Hal ini dilakukan bukan hanya agar memperoleh keuntungan yang barokah di dunia tetapi juga kesadaran akan adanya pertanggungjawaban di hari akhirat kelak. Karena dalam Islam produktifitas haruslah berorientasi jangka panjang (dunia-akhirat), dibangun dengan dasar moralitas (akhlak) dan kecukupan kebutuhan konsumen terhadap suatu produk (real Need) sehingga tidak berlibahan apalagi mubazir.
Dr. Monzer Kahf dalam bukunya yang berjudul The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System yang menyebutkan bahwa tingkat keshalehan seseorang mempunyai korelasi positif terhadap tingkat produksi yang dilakukannya. Jika seseorang semakin meningkat nilai keshalehannya maka nilai produktifitasnya juga semakin meningkat, begitu juga sebaliknya jika keshalehan seseorang itu dalam tahap degradasi maka akan berpengaruh pula pada pencapaian nilai produktivitas yang menurun. Manusia ditakdirkan menjadi khalifah di muka bumi artinya manusia mendapat tugas untuk menjaga alam, lingkungan sekitar dan bahkan menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat merusak dirinya dan orang lain. Karena itu menjadi kewajiban bagi manusia khususnya dalam hal memproduksi untuk menjaga amanah yang telah dibebankan oleh sang khalik dengan memproduksi produk-produk yang bermanfaat bagi manusia. Walaupun tidak dilarang untuk mengoptimalankan kebutuhannya, tapi bukan berarti menjadi alasan untuk memudharatkan kehidupan orang lain.
Hidup adalah amanah dan amanah Allah kepada manusia adalah sebagai seorang khalifah untuk menjaga kemashlahatan hidupnya dan juga orang lain. Rasulullah SAW bersabda bahwa jika amanah dilanggar maka tunggulah masa kehancurannya. Semoga kita semua menjadi manusia yang dalam segala urusan tidak lupa pada allah, misalnya melakukan kegiatan ekonomi dengan tetap tidak melupakan aspek spiritualitas yang menjadi acuan dalam melakukan segala aktivitas, menjadi manusia seperti yang disebut dalam hadist bahwa seorang muslim bagi muslim lain bagai satu tubuh sehingga secara komprehensif kita tidak lagi memproduksi baik makanan, minuman, barang dan lain-lain yang yang dapat merusak baik secara psikis maupun psikologi masyarakat, karena ketika saudara kita yang lain sakit kita pun akan merasakan sakitnya dan ketika kehidupan atau suatu ekosistem terganggu maka akan berdampak pula kepada kita. Wallahu ‘Alam Bish Shawab.
Author : Fitriani.
Cari info tentang ekonomi syariah? Cek aja di website KSEI Progres
[Keep in touch with us].
👥: Progres Tazkia 1
🐦: @KSEI_Progres
📷: progrestazkia
🎥Youtube: Progres Tazkia