Pendahuluan
Sistem ekonomi merupakan bahasan ekonomi yang tidak kalah penting dibandingkan dengan ilmu ekonomi. Sebab, dalam sistem ekonomi yang menjadi bahasan adalah pemikiran yang memengaruhi dan terpengaruh oleh pandangan hidup. Selain itu, masalah ekonomi yang ada akan terus mengikuti kebutuhan manusia dan alat pemuas kebutuhannya, termasuk pemanfaatan alat pemuas kebutuhan hidup.
Dalam Islam, ekonomi juga diatur baik secara langsung oleh Allah dalam Alquran, atau diatur oleh Rasulullah dalam kehidupan praktis, atau atas ijtihad para ulama atas sistem ekonomi yang sesuai dengan kondisi perkembangan masyarakat. Secara garis besar, persoalan ekonomi terdiri atas tiga hal, yaitu kepemilikan (property), tasharruf (pengelolaan), dan distribusi kekayaan. Ketiga hal ini dalam Islam diatur secara ketat dan memiliki beberapa prinsip yang dapat membedakan dengan konsep ekonomi yang lain. Perbedaan utama yang harus dipegang dalam sistem ekonomi Islam adanya transendensi dalam setiap menjalankan ketiga kaidah tersebut.
Dalam agama, ada beberapa kegiatan ekonomi yang menguntungkan satu pihak tetapi dilarang, misalnya perjudian, riba, penipuan (al-ghabn), tadlîs dalam jual beli dan ihtikâr (penimbunan). Kegiatan ekonomi yang dilarang agama ini, sebenarnya secara ekonomis sangat menguntungkan bagi pelakunya, akan tetapi juga dapat merugikan pihak yang lain. Apabila tidak ditemukan rasa transendensi, maka orang akan mengatakan larangan di atas justru menimbulkan proses kerja ekonomi tidak akan berkembang secara baik. Begitu juga sebaliknya, bagi yang menyatakan transendensi itu penting, maka batasan itu justru akan memberikan dampak positif dalam sistem ekonomi. Transendensi yang menjadi prinsip utama ini memberikan beberapa tawaran untuk menegakkan nilai yang bersifat instrumental, antara lain: (1) Islam mengakui hak milik pribadi, akan tetapi juga mengakui hak umum yang dikuasai negara, (2) Islam mementingkan kepentingan umat, (3) adanya larangan monopoli dalam Islam, (4) Islam memerintahkan untuk mengeluarkan zakat, infak dan sedekah, (5) Negara mempunyai peran dalam mewujudkan stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, dalam artikel ini, akan dikaji mengenai salah satu yang di- larang dalam sistem perekomian Islam yaitu tentang ihtikâr (penimbunan) dan dampaknya dalam sistem ekonomi.
Terminologi Ihtikâr
Ihtikâr merupakan bentuk mashdar, sedangkan bentuk mâdhî-nya dapat dibaca hakira atau hakara. Dalam Mu’jam Maqâyis Lughah, kata hakara diartikan dengan al-habs (menahan), sedangkan hukrah adalah menahan makanan sam- bil menunggu langkanya makanan tersebut.” Sementara itu Ibn Manzhûr meng- artikan kata hakara dengan menyimpan makanan untuk diamankan. Sedangkan ihtikâr adalah mengumpulkan makanan dan barang yang dapat dimakan lainnya kemudian ditahan untuk menunggu waktu naiknya harga. Ibn Manzhûr juga me- ngutip pendapat Ibn Sayyidah yang menyatakan bahwa ihtikâr adalah mengumpulkan makanan dan barang lain yang dapat dimakan, kemudian menahannya sampai pada waktu ada kesulitan untuk mencari bahan tersebut. Sementara itu menurut al-Azharî kata hakara mempunyai arti kezaliman, perusakan, dan per- gaulan yang buruk.
Dari definisi secara bahasa ini, dapat diketahui bahwa unsur utama dalam ihtikâr adalah aspek menahan dan menyimpan (al-habs wa al-iddikhar). Apabila tidak ada aspek ini, maka barang tersebut bukan dinamakan ihtikâr. Sedangkan aspek lainnya seperti barang yang menjadi objek simpanan bukan menjadi aspek utama akan tetapi hanya menjadi bagian dari aspek tersebut. Oleh karena itu wajar apabila perbedaan mengenai barang yang dianggap ihtikâr, namun ada kesepakatan mengenai penyimpanannya.
Sedangkan dalam kajian fikih, ihtikâr didefinisikan dengan
حبس السلعة الامتناع من بيعها لانتظار زيادة القيمة مع حاجة المسلمين اليها وعدم وجود الباذل لها
Ada juga yang mendefinisikan dengan:
شراء ما يضيرالناس حبسه من الطعام والزيت والكتان والصوف ونحو ذلك
Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa inti dari ihtikâr adalah membeli dan menahan sesuatu untuk dijual kembali dengan harga yang tinggi. Dalam bidang ekonomi modern, ihtikâr diartikan dengan lebih luas yaitu monopoli. Monopoli sendiri merupakan bagian dari pemikiran ke- lompok kapitalisme.
Berkaitan dengan barang yang dianggap sebagai ihtikâr, maka para ulama berbeda pendapat. Ada ulama menyatakan bahwa semua barang yang dapat menyebabkan pasar bergejolak dianggap sebagai ihtikâr,” ada juga yang menya- takan bahwa yang termasuk ihtikâr hanya makanan pokok saja.” Ulama yang berpendapat bahwa yang diangap ihtikâr hanya berlaku pada kebutuhan pokok saja, sedangkan kebutuhan sekunder atau tersier tidak termasuk dalam katagori ihtikâr berdasarkan Hadis Nabi Saw.:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من احتكر طعاما أربعين ليلة فقد برئ من الله تعالى وبرئ الله منه (رواه احمد ).
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, ia sungguh lepas dari Allah dan Allah lepas dari pa- danya”. (H.r. Ahmad)
Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa yang termasuk ihtikâr adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan umat Islam. Kebutuhan ini adalah segala hal yang menyebabkan keresahan atau kelangkaan dan bukan hanya kebutuhan pokok saja adalah Hadis Nabi Saw.:
من احتكر حكرة يريد ان يغلى بها المسلمون فهو الخطئ (رواه احمد)
Barang siapa yang menimbun barang dengan tujuan membuat kesusahan bagi muslimin maka dia tercela. (H.r. Ahmad) Hadis di atas menunjukkan bahwa yang dianggap menimbun adalah ba- rang timbunan dengan katagori umum. Sementara itu, Imam al-Syawkânî menyatakan bahwa yang dijadikan pegangan dalam ihtikâr ini adalah ‘illah-nya, bukan barangnya. ‘Illah-nya” adalah menimbulkan bahaya bagi kaum Muslim.” *Umar ibn al-Khaththâb, salah satu sahabat Nabi Saw., menyatakan ihtikâr ini tidak hanya sebatas menimbun barang, akan tetapi tidak menjual barang yang ada di pasar atau menjual dengan harga yang melebihi harga pasar setempat. Misalnya, apabila ada orang mempunyai barang dagangan di pasar dan tidak menjual dengan harga layak, akan tetapi ia mau menjual dengan harga yang sangat tinggi, maka perbuatan seperti itu sudah dikatakan ihtikâr. ‘Umar juga menyatakan bahwa ihtikâr tidak hanya berlaku pada makanan pokok dan hewan ternak, akan tetapi juga pada setiap barang yang menyebabkan manusia menjadi susah karena kelangkaan barang tersebut, seperti pakaian, minyak tanah, dan lain sebagainya. Sedangkan batasan dianggap meresahkan adalah meresahkan bagi orang miskin, anak yatim dan para janda.
Hukum Ihtikâr
Ihtikâr secara umum dilarang dan dicegah karena ia merupakan ketama- kan dan bukti keburukan moral serta mempersulit manusia, terutama dalam bi- dang ekonomi. Ulama Mâlikiyyah memandang ihtikâr adalah haram. ” Keharam- an ini tidak hanya pada makanan pokok akan tetapi juga pada barang yang lain yang sangat dibutuhkan masyarakat. Sementara itu, ulama Hanafiyyah memandang hukum ketidakbolehkan ihtikâr adalah makrûh tahrîm.” Hal ini berlaku jika dianggap membahayakan, jika tidak membahayakan maka hukumnya adalah mubah. Imam al-Awza’î, seorang ahli fikih yang mazhabnya tidak berkembang lagi, memandang bahwa ihtikâr adalah tidak boleh, apabila mengganggu pasar, sedangkan jika tidak maka hukumnya menimbun adalah boleh.” Ulama Syâfi’- iyah, menyatakan bahwa ihtikâr haram hukumnya. Sedangkan ulama Hanâbilah menyatakan bahwa ihtikâr adalah haram, karena akan berakibat kehancur- an terhadap mesyarakat dan negara.”
Dasar pengambilan hukum mengenai ihtikâr adalah sabda Rasulullah Saw.
الجلب مرزوق والمحتكر ملعون
Orang-orang jálib (importir) itu diberi rezeki dan penimbun dilaknat.
من احتكر حكرة يريد ان يغلى بها المسلمون فهو الخطئ (رواه احمد)
Barangsiapa yang menimbun barang dengan tujuan membuat kesusahan bagi muslimin maka dia tercela. (H.r. Ahmad).
Dari Hadis tersebut, para ulama menetapkan suatu hukum bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat. Pertama, akan menyebabkan penderitaan penduduk suatu negara. Kedua, menaikkan harga yang sangat tinggi untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, sehingga masyarakat merasa berat untuk mendapatkannya.
Berbeda dengan menimbun barang yang kepemilikannya tidak dengan jalan membeli. Atau juga pembelian terjadi pada saat harga melambung dan dijual pada saat itu juga. Karena praktik pembelian barang di saat harga masih stabil untuk kemudian dijual pada masa barang melambung adalah masih dalam kategori orang terpuji (marzuq) yang telah disebutkan di dalam Hadis di atas.
Ihtikâr dalam arti menimbun secara umum ketika harga murah kemudian untuk dijual ketika barang sudah tidak ada dengan tujuan menolong kebutuhan orang banyak adalah sesuatu yang mulia. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Yûsuf sebagaimana telah dinyatakan dalam Alquran surah Yûsuf [12]: 47-49.
Nabi Yusuf berkata, “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang Amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.‛
Tindakan seseorang yang menyimpan stok barang tertentu untuk kepentingan persediaan, seperti ketika terjadi panen raya atau untuk persediaan kebutuhan pribadinya tidak bisa dikatakan sebagai tindakan ihtikâr. Sebab hal tersebut tidak akan mengakibatkan kelangkaan barang di masyarakat, justru jika hal itu tidak dilakukan oleh perusahaan atau produsen tertentu harga barang akan anjlok dan rakyat akan mengalami kerugian. Dalam hal ini pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1948 tentang Pemberian ljin kepada Pedagang untuk menimbun barang penting, seperti beras, gabah, padi, menir, tepung beras, dan gula dalam jumlah tertentu. Beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula masing-masing tidak lebih dari 500 Kg. Dengan demikian, pemerintah memperbolehkan melakukan penimbunan barang oleh institusi ter- tentu dengan maksud untuk melindungi konsumen dan produsen. Sedangkan penimbunan yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan maksimal yang tidak wajar, maka jelas hal tersebut dilarang.
Bagaimana perilaku perusahaan/produsen dalam melakukan tindakan ihti- kâr? Terdapat beberapa cara yang dilakukan, yaitu: (1) Ada kemungkinan keun- tungan monopoli tetap bisa dinikmati produsen monopoli dalam jumlah yang besar dan jangka panjang. (2) Volume produksi (kuantitas barang) lebih kecil dari volume output yang optimum, padahal produsen sebenarnya mampu untuk memproduksi dalam jumlah yang lebih besar. (3) Ada unsur “eksploitasi” oleh perusahaan-perusahaan monopoli terhadap: a) konsumen, dengan ditetapkan harga jual di atas ongkos produksi dari unit terakhir output-nya; b) kualitas barang lebih rendah, sehingga konsumen terpaksa membeli sebab tidak ada barang lainnya.
Dampak Ihtikâr
Memang pada dasarnya adalah hak setiap insan untuk mendistribusikan harta bendanya sesuai dengan apa yang dikehendakinya sendiri. Baik ditimbun atau dijual dengan harga semahal-mahalnya. Namun kalau sudah memasuki pada takaran ihtikâr, maka permasalahan yang dibicarakan sudah bukan lagi mengenai hak kebebasan distribusi. Akan tetapi telah menyentuh pada dampak yang akan ditimbulkan atas tindakan yang ia lakukan.
Ihtikâr yang dilarang dalam agama, pasti mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian masyarakat. Dampak dari ihtikâr akan bisa mengacaubalaukan situasi perekonomian. Karena mahalnya barang-barang pokok yang menjadi kebutuhan manusia. Setiap hari akan menuntut melambungnya nilai tawar barang-barang lain, karena adanya imbas melambungnya harga satu barang.
Hal ini berkaitan dengan hukum ekonomi bahwa apabila permintaan meningkat sedangkan barang menurun maka harga akan meningkat. Peningkatan ini akan memberikan dampak yang luas. Berdasarkan hukum ekonomi, maka semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin berkurang.
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan normal, sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikâr masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga). Dalam situasi dan kondisi semacam ini yang dirasa adalah serba kesulitan dan kekurangan. Implikasi lebih jauh, ihtikâr tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia. Sebab, konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos marginal.
Dengan demikian praktik ihtikâr akan menghambat kesejahteraan umat manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah kesejahteraan umat manusia. Berangkat dari sudut inilah, ‘illah keharaman ihtikâr diangkat. Karenanya, menurut Imam al-Syawkânî, keharaman ihtikâr tidak hanya tertentu pada barang-barang pokok semata. Akan tetapi semua barang yang bila ditimbun akan bisa mengakibatkan ruwetnya perekonomian manusia. Sebab menurut analisisnya, zahir Hadis-hadis Nabi tidak membedakan antara makanan pokok manusia, hewan, atau lainnya. Sedangkan Hadis yang langsung menjelaskan keharaman ihtikâr dikhususkan hanya pada makanan pokok yang ada dalam sebagian riwayat tidak bisa digunakan untuk mengkhususkan Hadis-hadis lain yang redaksinya mutlak. Namun pendapat ini, masih mungkin untuk ditepis dengan kaidah usul fikih yang menjelaskan bahwa bila ada dalil muthlaq, maka dalil tersebut bisa diarahkan pada dalil muqayyad. Demikian pula bila ada dalil yang ‘âm, maka bisa di-takhshîish dengan dalil yang khâsh.
Akan tetapi, al-Syawkânî mengelaknya dan menjawab, kata ‚الطعام ‛yang ada di dalam salah satu Hadis hanyalah sekadar memberi contoh salah satu ba-rang yang tidak boleh ditimbun. Bukan untuk men-takhshîsh-kan.‛ Sebab, meniadakan hukum selain makanan pokok itu diambil dari mafhûm-nya laqab (kata الطعام yang ada dalam Hadis). Pengambilan mafhûm mukhâlafah semacam ini, menurut jumhûr ulama usul fikih jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab, tujuan disebutkannya laqab bukanlah untuk meniadakan hukum selainnya. Kalau sudah demikian, maka penyebutan perkara/ lafaz dalam suatu dalil yang tujuan penyebutannya bukan untuk meniadakan hukum lainnya, menurut kaidah usul fikih, tidaklah bisa digunakan menggarisbawahi dalil-dalil lain yang redaksinya muthlaq.
Jadi, pada hakikatnya ihtikâr dapat merusak sistem pasar yang sudah berjalan normal. Oleh karena itu, wajar apabila sebagian ulama menyatakan ihtikâr adalah pelbagai bentuk, dan tidak terbatas pada makanan pokok. Dengan mendasarkan ihtikâr adalah untuk semua barang yang dapat merusak sistem pasar, maka dapat diketahui bahwa sistem pasar seperti ini harus dipelihara oleh pelaku pasar. Pasar harus berjalan secara normal.
Secara garis besar Ketidaksempurnaan pasar terjadi karena tiga hal. Pertama, penyimpangan terstruktur. Suatu pasar akan mengganggu mekanisme pasar dengan cara yang sistematis dan terstruktur pula. Struktur pasar yang dimaksudkan adalah monopoli dan kompetisi yang tidak sehat. Struktur pasar seperti ini menjadi larangan dalam Islam, sebab selain merusak sistem pasar juga berlawanan dengan maqâshid al-syarî‘ah. Kedua, penyimpanan tidak terstruktur, yaitu adanya faktor internal insidental dan temporer yang mengganggu sistem pasar, misalnya ihtikâr, najasy, tadlîs, kolusi pedagang untuk membuat harga di atas normal. Sistem seperti ini juga berlawanan dengan tujuan yang telah diatur syariat. Ketiga, Ketidaksempurnaan informasi dan penyesuaian. Hal ini seperti yang terjadi membeli barang dari produsen ketika masih di tengah jalan (bukan di dalam pasar/talaqqi rukbân), membeli dari orang yang bodoh yang tidak mengerti harga pasar yang sebenarnya (al-ghubn).
Ketiga hal yang dapat merusak pasar ini harus dihindari dan dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, setiap penjual dan pembeli harus berhati-hati dalam melakukan transaksi tersebut. Larangan yang ada dalam agama ini memang tidak memberikan sanksi secara tegas, akan tetapi sanksinya berupa keharaman hukum yang perhitungannya kelak di akhirat. Oleh karena itu, sebagai pelaku pasar harus tetap mengutamakan sistem transendensi seperti yang telah dibahas di atas.
Konsep transendensi ini salah satunya adalah dalam setiap kegiatan pasar harus didasarkan pada hal yang halal dan haram secara ketat dan kesadaran diri. Artinya, apapun yang terjadi dalam sistem pasar pertimbangan halal dan haram dalam melakukan transaksi harus tetap menjadi pertimbangan utama dan pertama. Seseorang tidak boleh terperdaya dengan harga atau lainnya, sebab hal ini akan menjadi pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Peran Pemerintah
Islam memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara proporsional. Islam memandang bahwa negara wajib melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang ataupun dari negara lain. Negara juga wajib memberikan jaminan sosial agar seluruh masyarakat dapat hidup secara layak. Oleh karena itu, adalah wajar apabila negara Indonesia dalam UUD NRI 1945 menyatakan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu, dalam Islam dikenal jenis-jenis kepemilikan, yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan Negara. Kepemilikan pribadi adalah kepemilikan yang dipunyai seseorang, baik itu berupa zat atau utility tertentu, yang memungkinkan bagi seseorang untuk mendapatkannya dan memanfaatkannya. Kepemilikan individu ini seperti kepemilikan atas rumah, roti, daging dan lain sebagainya. Sedangkan cara memperolehnya dengan cara yang baik seperti bertani, berniaga, dan lain sebagainya.
Jenis kepemilikan umum adalah benda yang dimiliki bersama dan mereka semua saling membutuhkan atas benda tersebut. Benda ini ada tiga macam yaitu, merupakan fasilitias umum, bahan tambang yang tidak terbatas dan sumber daya alam yang sifat pembetakannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Barang-barang milik umum ini mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, api, minyak dan gas bumi, padang rumput atau hutan.
Sedangkan milik negara adalah harta yang menjadi milik seluruh kaum muslimin, sedangkan yang mengelola adalah menjadi kewajiban aparat pemerintah. Harta ini, misalnya harta rampasan perang, jiz’yah, dan di dalam termasuk juga air, udara, api yang menjadi umum, akan tetapi negara berhak mengatur regulasinya. Oleh karena itu adalah menjadi wewenang negara untuk membuat peraturan yang ketat bagi penimbun untuk kepentingan bersama. Hal ini juga berkaitan dengan kaidah:
عاى الرعية منوط باالمصلحة تصرف الامام
Tindakan pemerintah terhadap rakyat harus selalu berorientasi pada kemashlahatan orang banyak.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengadakan pengawasan terhadap pasar. Pengawasan pasar ini berguna untuk menjamin berjalannya mekanisme pasar secara sempurna. Dalam agama pengawas pasar didasarkan pada firman
Allah surah Âli ‘Imran [3]: 110. Pengawasan pasar yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. antara lain melakukan inspeksi secara langsung ke pasar untuk melihat harga dan mekanisme pasar. Apabila ada harga yang tidak sesuai dengan mekanisme pasar, maka Rasulullah menegur pelakunya dan memberi nasihat tentang perilaku pasar yang baik.
Secara garis besar hisbah mempunyai fungsi: (1) Mengorganisasi pasar agar dapat memfungsikannya sebagai solusi permasalah ekonomi umat melalui mekanisme pasar yang sehat; (2) Menjamin instrumen harga barang dan jasa yang ditentukan sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan; (3) Melakukan pengawasan produk-produk yang masuk ke pasar; (4) Memberikan informasi di pasar mengenai harga dan sistem pasar; (5) Menjamin tidak adanya praktik monopoli oleh pelaku pasar; (6) Mengawasi praktik-praktik pencaloan di dalam pasar; (7) Mengupayakan moral islami terutama yang berkaitan dengan mekanisme pasar.
Dengan adanya hisbah ini, maka akan menjadikan pasar beroperasi dengan dengan bebas dan dapat harga, gaji, dan keuntungan yang ditentukan oleh kekuatan supply dan demand, tetapi pada saat yang sama juga menjamin bahwa semua pranata ekonomi telah melaksanakan seluruh kewajibannya dan telah mematuhi aturan syariat. Seluruh tindakan dan pencegahan dapat dilakukan untuk menjamin tidak adanya kecurangan, penipuan dan pelbagai praktik lainnya yang dapat merusak sistem pasar.
Tindakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah akan menjual barang dagangan hasil timbunan sesuai dengan harga pasar pada saat itu dan apabila ada keuntungan dari hasil penjualan, maka hasil penjualan tersebut disedekahkan kepada fakir miskin. Sedangkan pelaku ihtikâr hanya berhak mendapatkan modal pokoknya saja. Hal ini dilakukan sebagai pembelajaran terhadap pelaku ihtikâr. Selanjutnya pemerintah akan memberikan teguran kepada pelaku ihtikâr agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila mereka tidak memperhatikan teguran tersebut, pemerintah berhak memberi hukuman. Oleh karena itu, negara sebagai pengatur regulasi perdagangan harus memberikan pengawasan dan pengaturan melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah lainnya untuk menertibkan sistem pasar sehingga dapat berjalan dengan baik. Di antara sistem yang dapat diterapkan adalah peraturan persaingan usaha yang sehat. Dalam hal ini negara dapat mengeluarkan peraturan permainan persaingan usaha yang sehat, dengan melarang hal-hal berikut ini. Pertama, larangan melakukan persengkongkolan bisnis yang merugikan pesaing lainnya. Kedua, monopoli atau memperoleh hak khusus atas dasar KKN
dengan birokrat. Ketiga, proses tender yang tidak transparan, atau menggunakan perusahaan ‘alibaba’. Keempat, differensiasi harga pada kelompok bisnis tertentu yang merugikan pihak pesaing. Kelima, proses produksi, kualitas produk, dan kampanye iklan yang merugikan pihak konsumen.
Keenam, memberikan informasi tentang produk dan pelayanan yang menyesatkan kepentingan komsumen. Dalam Pasal 17 ayat (1), UU No. 5 Tahun 1999 dinyatakan, ‚Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.‛ Dan, Pasal 47 dan 48 UU Tahun 1999 disebutkan, apabila terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut maka pemerintah dapat mengenakan sanksi bagi pelakunya, baik sanksi administrasi (penggagalan perjanjian atau denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,- dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,- atau Rp 1.000.000.000,- dan sanksi berupa kurungan minimal tiga bulan sampai enam bulan.
Penutup
Ihtikâr merupakan sesuatu yang harus dicegah dalam sistem pasar. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga sistem pasar yang di dalamnya termasuk melarang ihtikâr bagi pelaku pasar. Dengan begitu, sistem pasar akan berjalan dengan baik dan sistem ekonomi dapat bergerak dengan laju yang normal dan penuh keadilan. Untuk menumbuhkan sistem ini, maka para pelaku pasar dan pengawas pasar harus mendasarkan diri pada agama atau adanya kepercayaan dan menjalankan semua aturan agama. Dengan begitu, semua sistem yang berkaitan dengan pasar akan berjalan dan mencapai kebaikan puncak, serta Maqāshid al-syarî‘ah dan mashlahah al-‘ibâd akan tercapai. Selaian itu, konsep baldah thayyibah wa rabb ghafûr menjadi kenyataan.
Pustaka Acuan
Baghâwî, al-, Syarh al-Sunnah, Bayrût: al-Maktab al-Islâmî, 1983.
Bayhaqî,, al-, Sunan al-Kubrâ, Haidar Abad: Majlis Dâ’irah al-Ma‘ârif, 1344 H.
Bottomore, Tom (ed.), A Dictionary of Marxist Thought, Oxford: Basil Blackwell Ltd, 1983.
Ghazâlî, al-, Abû Hâmid, al-Mushtasfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Ghazâlî, al-, Abû Hâmid, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Semarang: Thaha Putra, t.th.
Ghazali, al-, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Surabaya: Putra Pelajar, 2002.
Ibn Rusyd, Ahmad, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Bayrût: Dâr alFikr, t.th.
Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Mukhtâr ‘alâ al-Dur al-Mukhtâr, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th.
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Bayrût: Mu’assasah al-Risâlah, 1999.
Ibn Khaldûn, ‘Abd al-Rahmân, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
Ibn Manzhûr, Muhammad ibn Mukarram, Lisân al-‘Arab, Bayrût: Dâr al-Shâdir, t.th.
Ibn Qudâmah, al-Mughnî, Riyâdh: Maktabah al-Riyadh al-Hadîtsah, t.th.
Ibn Zakariyyâ, Ahmad Husayn ibn Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, Bayrût: Dâr al-Kutub, 2000.
Imam Muslim, Shahîh Muslim, al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 1997.
Khû’î, al-, Abû al-Qâsim al-Musâwî, Minhâj al-Shâlihîn, Qum: Muassasah al-Nasyr al-Islâmî, 1410 H.
Mâwardî, al-, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1960.
Nabhânî, al-, Taqiy al-Dîn, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Persektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Qal’ajî, Muhammad Rawwas, Mawsû’ah Fiqh ‘Umar ibn al-Khaththâb, Kuwayt: Maktabah al-Fallâh, 1981.
Suyûthî, al-, Jalâl al-Dîn, al-Ashbah wa al-Nazhâ’ir, Bayrût: Dâr al-Kutub al-Islâmî, t.th
Suyûthî, al-, Jalâl al-Dîn, Tanwîr al-Hawâlik Syarh al-Muwaththa’, Semarang: Thaha Putra, t.th.
Syarbaynî, al-, al-Khâthib, Mughni al-Muhtâj, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1978.
Syawkânî, al-, Muhammad ibn ‘Alî, Nayl al-Awthâr, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1983
Cari info tentang ekonomi syariah? Cek
[Keep in touch with us].
👥: Progres Tazkia 1
🐦: @KSEI_Progres
📷: progrestazkia
🎥Youtube: Progres Tazkia