Oleh: M Wahyudi Pranata
Istilah tawarruq ini di perkenalkan oleh Mazhab Hambali. Mazhab Shafi ’i mengenal tawarruq dengan sebutan “zarnagah”, yang artinya bertambah atau berkembang. Dalam hukum Islam, tawarruq artinya adalah struktur yang dapat dilakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yaitu seorang yang membutuhkan likuiditas. Konsep ba’i tawarruq dalam madzhab Hanbali adalah suatu transaksi muamalat dalam jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan pembayaran yang ditunda kemudin dari pihak pembeli pertama menjual barang tersebut kepada pemeli akhir dengan pembayaran yang tunai.
Hal yang dikehendaki dengan al-wariq dalam bahasa fikih adalah keuntungan secara tunai (al hushûl ‘alâ an-naqd). Mayoritas para ulama memperbolehkan transaksi tawarruq ini dianataranya Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Nawawi dan Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya. Kebolehan akad ini berdasarkan Fatawa Lajnah Ad-Daimah No. 19297 Jilid 13 Halaman 161 dan pendapat ini berdasarkan kaidah umum bahwa jual beli adalah halal yang bersandar pada Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275), dan didukung dengan surat Al Maidah (QS, 5 : 1), Al Baqarah (QS, 2 : 280). Hadist Nabi Saw yang membolehkannya adalah seperti yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim. Intinya adalah bahwa Nabi SAW melarang seorang petani untuk menukar kurma yang baik dari Khaybar sebanyak satu kilo dengan kualitas yang lebih rendah sebanyak 3 kilo, menurut para ulama transaksi ini bersifat dharuriyat dengan tujuan untuk memperoleh uang tunai karena tidak bisa memperolehnya dari akad qard, salam dan lainnya.
Pada dasarnya, akad tawarruq diterapkan dalam konsep bursa komoditi syariah. Bank yang surplus mendapatkan pesanan dari bank deficit untuk membeli barang, sehingga bank surplus akan membeli komoditas dari market dengan tunai menggunakan akad jual-beli, kemudian menjualnya kepada bank deficit dengan cara murabahah dengan sistem pembayaran cicilan. Kemudian bank deficit akan menjual aset ini kepada pasar komoditas dengan tujuan mendapatkan tunai. Akad tawarruq yang biasa di kenal di industri perbankan timur-tengah tidak hanya pengelolaan liquiditas, tetapi juga pemenuhan keperluan konsumtif individu. Dalam konsep pertama Bank Syari’ah menetapkan broker pembelian dan kepada siapa pembeli menjual barang tersebut. Hal inilah yang dilarang dalam syariah karena hampir sama dengan jual-beli ‘inah, namun menambahkan pihak ketiga. Konsep tawarruq yang kedua adalah Bank Syari’ah (surplus unit) betul-betul membeli barang itu dari market, dan menjualnya kepada konsumen tanpa menjualnya kembali kepada pihak manapun.
Jikalau diperhatikan ke laporan keuangan bank-bank syariah di malaysia, Tawarruq memiliki financing dan funding yang lebih besar dibandingkan dengan Mudharabah deposit. Dari 16 bank syariah di malaysia, ada 14 bank syariah yang hanya mempunyai mudharabah deposit tak lebih dari 3% dari total seluruh DPK. Penerbitan sukuk oleh bank pun belakangan ini juga memakai akad Tawarruq. Bank Islam dan Maybank Islamic menerbitkan sukuk pada tahun 2014 dengan menggunakan akad Tawarruq.
Transaksi Tawarruq juga bisa diwujudkan dengan cara si pelanggan menemukan pembeli atau agennya sendiri tanpa keterlibatan bank syariah. Pertama, bank dapat menjual barang yang disetujui oleh Syariah kepada pelanggan dengan jangka waktu yang ditangguhkan. Meski barangnya tidak di tangan bank, bank harus memberi informasi rinci tentang pengiriman barang ke pelanggan (Kuwait Finance House, 2011b). Setelah pengiriman berlangsung, pelanggan dapat menjual barang tersebut ke pembeli atau agen pilihannya (Kuwait Finance House, 2011b).
Selain itu pula, ada beberapa pandangan dari penulis sebagai seorang akademisi dalam memandang akad ini. Dalam beberapa keadaan, tingkat likuidasi yang tepat (tidak terlalu cair atau kurang cair) adalah penting untuk memastikan bahwa lembaga keuangan Islam mampu memenuhi kewajibannya. Meski ada masih banyak isu yang masih ada, kebutuhan untuk menciptakan manajemen likuiditas yang baik membutuhkan kerjasama dan kerja keras semua pemangku kepentingan dalam keuangan syariah.
Dengan banyaknya pandangan mengenai halal dan haramnya praktik dari Ba’i Tawarruq ini seseorang yang bekerja sebagai praktisi harus betul-betul berhati-hati dalam pelaksanaannya sehingga ketika melakukan inovasi berbagai produk di perbankan atau lembaga keuangan lainnya tidak melalaikan landasan pokok syariat dari akad ini. Dan tetap dalam pengawasan DSN karena DSN sendiri dituntut untuk jeli dan hati-hati dalam memberikan fatwa terhadap suatu permasalahan sehingga permasalahan terhadap keuangan syariah ini tidak mengandung resiko terlalu besar.
Hal ini dikarenakan transaksi tawarruq ini bersifat dharuriyat maka sebaiknya dari perbankan atau lembaga keuangan untuk mengakhirkan dari penggunaan transaksi ini, karena Perbankan Syariah tentu memiliki instrument untuk likuiditas ini. Oleh sebab itu, perlu adanya perbaikan lanjut untuk kerangka hukum yang mampu menyelesaikan dan mengakomodir segala permasalahan mengenai ekonomi atau keuangan syariah.